TEH Â yang kuseduh di poci tanah kutangkringkan di meja kayu kecil bersamaan cangkir berisi gula batu saat bunyi rekayak di kejauhan menjadi saat mendekat. Hujan dini hari, kecil saja.
Andaikan engkau datang kembali
Jawaban apa yang kan kuberi
Bersinarlah bulan purnama? Tidak, tentu. Gerimis masih ritmis di hari masih ditekuk dari suara hiruk-pikuk di kejauhan jalan tol mungkin dari orang-orang arus balik dari mudik.
Hatiku membatu. Air teh kental dari poci tanah berusia belasan tahun itu mencairkannya. Menjadi manis dalam sesap ritual minum teh dini hari sambil menebarkan khayal tentang wanita yang kuseduh beberapa tahun lalu hingga kukira andaikan engkau datang kembaliyang selazimnya takkan terjadi saat aku terjaga dari tidur panjang sejak senja yang menelikung tanpa ujung hingga kini sendiri seperti biasa dan aku nikmati sepenuhnya.
Bah!
Kuseruput teh manis panas legit manis menghangati dini hari yang ritmis gerimis.
Jawaban apa yang kan kuberi?
Kutanyakan pada air yang menetes-netes dari genteng kuno rumah yang meneguhkan tubuh ini bersemayam bertahun-tahun sudah tanpa engkau juga. Ini saatnya kita bicara tanpa tedeng aling-aling saat hanya alam yang mendengar kerna ia lah yang tak berisik dalam pikiran-pikiran meracau kita berdua selama ini yang lebih diselimuti emosi tanpa jiwa.
Betapa aku bersedih?
Kaupikir begitu tentang aku yang sudah bertahun menyuka teh dari poci tanah daripada pada kau yang senang dengan pikiran-pikiranmu yang kelewat memuja cinta atas nama hati nurani yang kausodorkan kepadaku tanpa memberi sedikit pun kesempatan bernafas sehingga aku tak bisa berpikir seluas cakrawala yang kausebut berbatas itu tanpa sedikit jua kauingat padaNya di sana yang Maha Memberi tak seperti kita yang selalu menuntut terutama kau yang merasa paling benar dan pintar sehingga semua yang kujawab kausalahkan dengan tandas.