LELAKI pejalan takkan pernah membiarkan mata ini melewatkan pemandangan indah di jalan-jalan yang dilewati, dirambah. Termasuk pada wajah-wajah indah perempuan: cantik, rupawan, menawan dan terutama menggelitik untuk diamati. Dari sepasang bola pingpong, atau bahkan punggungnya – dengan diwakili gerai rambutnya bak dalam iklan shampo. Atau bahkan mungkin hanya sepenggal jalan macet, dan ada bangku kecil di bawah keteduhan pohon besar. Sehingga bokong ini parkir di situ. Ini seperti sore kamarin, lebaran ketujuh, saat senja pelan turun di Perempatan Ciawi, Bogor.
“Stoop …kiri, Bang!” seruku ketika ada dua meja di pinggir jalan kosong dari sebuah warung Padang, hanya seratus meter dari perempatan Ciawi arah Cisarua.
Dan aku bingung, ketika selesai meletakkan tas gembol setelah turun dari angkot dari Gadog karena suatu pekerjaan kecil wawancara, dan bersitatap dengan Uda pemilik warung kecil itu. Ya, aku tidak lapar. Dan di warung Padang, bukanlah sebuah café untuk sedikit melepas penat sembari menyuruput minuman hangat sebelum sang surya tenggelam. Ditemani kacang, mungkin.
“Teh hangat manis saja, Uda!” usulku setelah berpikir kilat. Karena awak ini tak lagi berkopi-ria – lambungnya Mak! Bisa kumat.
Celakanya, sebagai warung Padang kecil di sebuah keramaian bukan yang siap melayani tamu kayak saya yang terpikat dua meja di tepian jalan dan di bawah kerindangan pohon besar. Apalah kata. Aku sudah memarkir pantat, dan segera melihat pemandangan hiruk-pikuk jalan. Si Uda segera menyeberang jalan dan mencari gula, rupanya.
Di sinilah indahnya dari sepenggal warung Padang dengan dua meja sangat-sangat sederhana, dan hiruk-pikuk jalan pada sepenggal senja yang belum jatuh. Bersliweran wanita-wanita – ini yang kufokus, tentu – yang turun dari angkot. Jangan dikira wanita di perempatan Ciawi dan turun dari angkot itu tak canteek, ya? Apalagi yang melongok dari jendela kaca saat ingin tahu bukan dari balik kaca mobil tentang kemacetan di situ. Dan sesekali, entah ini ge-er, melempar ke tubuh yang menikmati relaksasi dengan segelas teh hangat yang disajikan Si Uda.
Sebuah angkot warna biru dari arah Cisarua berhenti enam meter dariku duduk. Turun malaekat yang kumintai dalam hati saat doa kepadaNya, seorang penjaja asongan. Langsung, ia kulambai. Si pedagang asongan itu sendiri terperangah, karena begitu turun dari angkot ada pembeli yang menyambutnya. Jadilah seplastik tahu warna cokelat sepuluh potong kubeli dengan harga lima ribu rupiah. Cring! Kontan.
Teh hangat, dan tahu “Sumedang” menemani senja yang kunanti mendekati sempurna.
Di barat sana, matahari mulai merendahkan diri. Samar-samar petugas Polisi Lalu Lintas mengatur jalannya kemacetan. Ada seonggok macan ompong, sebuah patung sebenarnya, diam tak hirau dengan keadaan yang sesungguhnya sulit untuk diurai dari kemacetan meski hari-hari biasa (orang-orang akan ke Sukabumi, Puncak, atau ke arah Tajur untuk membeli tas bahwa telah tiba di Bogor untuk berbelanja asinan, talas yang disulap menjadi makanan rupi-rupi). Ini terjadi tak hanya ketika bau lebaran masih cukup harum dihirup.
“Tambo lagi?” jawab Si Uda yang lebih cenderung bertanya ketika gelas kosong kusorongkan kepadanya. Teh kedua gelas.