Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2 Malam Ramadhan di Cilegon (1)

26 Juni 2016   08:33 Diperbarui: 26 Juni 2016   09:13 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umbul-umbul dan Masjid Nurul Iman (dok pri)

MENJELANG sore, kami tujuh Kompasianer dari Jakarta bertemu dengan Walikota Cilegon, Dr. H. Tb. Iman Ariyadi di Kantornya (22/6). Semacam silaturrahmi. Karena tak ada perbincangan serius. Bukan tersebab hari ketujuh belas Ramadhan atawa Nuzulul quran. Namun memang acaranya untuk melihat dan mengikuti suasana bulan suci di Kota yang masih kuat religiusitasnya, meski ini Kota Baja, Kota Industri.

“Dengan senang hati Kompasianer akan mengikuti kegiatan Safari Ramadhan kami di Cilegon,” sambut Walikota bergelar doktor sospol dari UI yang menjabat dua kali pada tahun pertama ini. Negeri Kulon yang baru berusia tujuh belas tahun pada April 2016 lalu.

Kami bertujuh pun masuk kandang ke hotel persis di belakang kantor Walikota, untuk persiapan acara berbuka puasa di Rumah Dinas Walikota – bangunan bersejarah berkait dengan Pemberontakan Petani Banten 1888 seperti yang ditulis sejarawan mumpuni Sartono Kartodirjo.

Beberapa saat menjelang berbuka, mobil beringsut ke Rumah Dinas Walikota berbangunan kuno, persis di depan Masjid Agung Nurul Ikhlas dengan empat pilarnya yang menjulang. Ternyata Jalan utama itu macet, dan kami sempat was-was. Bukan soal tak kebagian makanan khas Cilegon yang kemudian kami sikatpersis di Ruang dalam Pendopo. Ada sate, sop, ikan diumbu kuning, sayur segar dan minuman jus. Sebelumnya, biasa ada kolak pisang.

“Arum dan Muthiah ngikut Pak Wali. Sedangkan Maria dan Tamita ngintil Bu (plt) Sekda ke Jombang Timur. Saya, Isson dan Bang Iz, nguntit Pak Kedua Dewan,” ujar saya beres dari salat Magrib, dan berbuka dengan nasi plus sate, di sisi kanan Pendopo. Itu setelah mendengar protokol mengumumkan akan ke mana saja para pejabat dari Walikota, Ketua DPRD, Sekda, Koramil atau Muspida Kota Cilegon untuk Safari Ramadhan.

  “Yang ikut Bu Sekda biar ngikut di mobil saya,” ujar Kang Nasir, yang sejajar sebagai penguasa non formal di Cilegon. Juga Kompasianer, ding.

Nguik-nguik suara mobil penguak perjalanan dari Rumah Dinas Walikota pun membelah Jalan besar.

Umbul-umbul dan Masjid Nurul Iman (dok pri)
Umbul-umbul dan Masjid Nurul Iman (dok pri)
Nah! Kerepotan pertama pun muncul. Karena kami bertiga yang laki-laki ini, dengan kendaraan sendiri bingung. Tak tahu persis masjid Nurul Iman di wilayah Cibeber itu. Namun namanya bekas wartawan (kalau boleh bilang begitu), ndak kekurangan akal. Mendekati petugas LLAJR yang mengawal para pejabat untuk bersafari ramadhan di delapan titik penyebaran. Sebuah program semaca Tarling – Tarawih Keliling – di lingkungan pejabat Cilegon.

Tetap saja, kami bertiga baru masuk ke TKP di daerah berbukit yang tak mendengar hiruk-pikuk kendaraan – karena beberapakali mesti bertanya-tanya kepada warga. Bahkan suasana desa cukup terasa. Di mana beberapa warga yang bertugas menerima tamu Ketua DPRD Ir. H Fakih Usman yang merupakan legislatif dengan dapil Cibeber itu, tampak ramah. Umbul-umbul berteks Cibeber pun berkibar-kibar ditiup angin malam, ketika rakaat-rakaat salat tarawih sudah berjalan.

“Allahu akbaaaar …!” sambung jamaah, mengikuti suara iman. Ini agak berbeda dengan salat berjamaah di Jawa Tengah umumnya atau Jabodetabek. Di mana jamaah tak mengikuti suara di tiap tahap salat, semisal dari rukuk ke takbir. Juga pada salat witir, ada pembacaan qunut – karena sudah setengah bulan Ramadhan berjalan. Ini sebuah doa tambahan yang tak semua salat tarawih di beberapa tempat.  

Saya pun memotret-motret dari luar masjid yang sisi kanannya belum sempurna. Maksudnya belum berdinding rapi dicat. Sambil mengajak berbincang dengan pengurus masjid yang bertugas di luar masjid dan tidak tarawih, Kang Safuri, ”Di sini memang menggunakan 23 rakaat,” ungkap lelaki agak gemuk itu, yang menyebut kali ini beberapa jamaahnya dari tiga desa sekitar Masjid. Semacam gabungan. Mungkin agar bisa salat bersama pejabat. Meski hal itu yang dipesankan Walikota: agar warga tetap salat tarawih walau taka da pejabat bersafari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun