Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Mendadak Religius

8 Juni 2016   06:46 Diperbarui: 8 Juni 2016   16:50 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bagi para pengguna jasa PT KAI di lingkungan Stasiun Jatinegara dan sekitarnya, saat ini waktu salat Maghrib sudah tiba. Kami PT KAI mengucapkan selamat berbuka puasa bagi yang menjalankannya. Semoga Allah memberi berkah dan rahmat-Nya.”

Pengumuman itu sesungguhnya sudah berbarengan azan Maghrib yang kudengar. Namun, suara empuk itu seperti mengiringi tegukan air mineral yang kubeli di deret kios yang ada di Stasiun Jatinegara. Harganya dua kali lipat daripada di gerai yang sedang diantre oleh para pengguna Commuter Line yang siap-siap menyambut acara berbuka. “Saya termasuk bukan orang yang sabar,” desisku ketika tegukan kedua dan duduk di antara bangku panjang logam yang dicat oranye sebagai tangga untuk naik ke atar kereta.

Seraya mengingat-ingat suara yang mengumumkan berbuka bagi kami yang ada di lingkungan Stasiun Jatinegara, saya mesem-mesem. Sebuah suara yang empuk, dan... hm layak dengan pemiliknya yang cantik. Dan mungkin bisa kujadikan sebagai istri. Suara yang mengelus bagi orang yang merindukan seteguk air mineral mahal itu. Ah, lagi-lagi teringat mahalnya harga dan ketidaksabaranku. Namun, tatanan dan susunan kalimat itu lebih daripada enak dan runtut. Juga tidak langsung. Semisal: bagi yang berpuasa, telah tiba waktu berbuka. Silakan....

“Kereta nomor 2810 jurusan Bekasi, akan memasuki jalur satu. Kereta dari Manggarai ini terdiri dari dua belas rangkaian ....”

Ah!

Aku perlu seteguk air meneral lagi. Glek. Pelan, aku mengikuti suara empuk itu. Dan dengan berat hati, mesti menaiki kereta yang rada tak sesak. “Pintu akan segera ditutup....”

Tertutup sudah untuk menikmati suara empuk di Stasiun Jatinegara. “

...di Jatinegara kita kan berpisah. Kirimkan serta....

Aku mesti melupakan suara itu. Dan aku segera melihat pemandangan di dalam kereta. Tak biasanya. Hampir semua orang meneguk air dari botol plastik dan sebagian mengunyah, entah apa pun. Diperbolehkan. Tak ada tegur sapa para petugas berpakaian biru dengan topi bundarnya. “Ini kan saatnya berbuka puasa, mentolerir kenapa?” sungutku yang menjadi ikut mengambil botol mineral. Glek. Kali ini rada kasar. Ah, gara-gara tak diiringi suara mendayu empuk dan tertata itu.

Pemandangan berubah. Sebenarnya, ingin benar memotret hal yang tak lazim. Di mana larangan berlaku bagi para pengguna Commuter Line. Untuk minum-minum dan apalagi mengunyah-unyah makanan secara serempak. Sehingga kemudian pandangan mata tertuju pada gadis berbaju kotak dengan celana jeans warna abu-abu. Wajahnya di kaca yang memantulkan rambut lurusnya.

Gadis cantik itu lebih senang memandang ke kaca yang gelap di luar antara Jatinegara-Klender. Berkelabatan. Namun, ia sungguh senang mematut-matut diri. Sesekali mengutip anak rambutnya dan dibenahi di belakang kupingnya. Kadang, ia menyisir dengan jari-jemarinya. Sementara tetap pandangan ke depan ke kaca, dengan tangan kanannya bergantung pada ring putih yang menggantung itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun