Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sore, Senja, dan Hujan

29 Mei 2016   04:34 Diperbarui: 29 Mei 2016   07:58 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore. Senja. Dan hujan. Aku menatap tetesan air lewat ujung genteng. Di sisiku bangku panjang kayu, dua ekor kucing duduk rukun. Si Putih dan Si Belang.

“Ngiaaaau ...!”

Kucing itu entah kenapa bercakaran. Aku terusik. Dan kemudian mengusir mereka. Berlarian, menembus hujan.

Hujan tetap turun. Langitnya makin kelabu. Lalu, kulihat sekelebatan malaikat-malaikat turun. Berdua.

“Kau tidak hujan-hujanan?” tanya salah satu Malaikat.

“Kenapa memang?”

“Tak kenapa-napa. Sepertiku saja,” sahut Malaikat satunya.

“Ini rakhmat!” sambung Malakait yang tadi.

Belum sempat menjawab, petir menyalak. Ah, tidak. Intro dengan alunan menjauh. Lalu senyap. Air hujanlah yang kemudian berirama. Seperti tadi. Tak kunjung naik-turun iramanya.

“Tak juga mau berhujan-hujan?”

“Ini saat paling tepat. Malam nanti nisfu Syaban ....”

Oh, berarti rembulan bakalan tak tampak. Pada malam Minggu pula. Meski tak kumengerti. Apa bedanya setengah bulan menjelang Puasa dengan rembulan membulat dan rembulan di balik awan. Karena sore menjelang Maghrib ini masih hujan. Bakalan lama. Setidaknya, ada nyanyian hujan. Hingga menjelang Maghrib. Orang-orang menderas Yassin dan ....

“Ayo, hujan-hujanan ....”

Aku tak bergeming. Tetap diam. Ajakan yang sulit kuikuti pada usia setengah abad lebih. Yang bisa membuat kepala pening kalau terguyur air hujan. Air hujan bukankah jahat?

“Kalau hujan-hujanannya denganku, takkan sakit kepala ...,” kata Malaikat itu.

“Dan aku akan mengguyur kepalamu dengan air kehidupan,” sambung satunya.

Aku ragu.

“Inilah kesempatan.”

“Tidakkah kaulihat hujan yang penuh rakhmat ini ....?”

Kian ragu aku.

“Ini malam Nisfu Syaban.”

“Malam setengah bulan sebelum kaupuasa.”

 Dua ekor kucing, Si Putih dan Si Belang datang dari derasnya hujan. Mereka mengibas-ibaskan dari kuyup bulu-bulunya.

“Sini ....pus.”

Tak ada yang mendekatiku. Dan aku ragu. Kalau mereka mendekat, karena mereka basah.

“Kamu kalah dengan kucing ....”

Aku mengernyitkan kening.

“Kalahnya?”

“Mereka berani hujan-hujanan. Persis dua minggu akan puasa.”

“Mereka juga mandi, membersihkan diri dari air hujan yang penuh rakhmat.”

Aku bimbang. Lebih-lebih.

“Kesempatan ini, janganlah kau sia-siakan.”

Aku menatap mereka. Lalu menarik nafas dalam-dalam.

“Ajakan ini .....”

Mereka tak ragu. Menggedor aku lebih dalam.

“Kau masih ragu. Kalau hujan adalah rakhmat?”

“Kalau hujan adalah saat kami turun ke bumi?”

Aku menelan ludah. Leher tetap tercekat.

“Dan menawarimu untuk mandi hujan.”

 Aku memejamkan mata. Dan saat kubuka, mereka sudah menghilang.

“Ngiauuuu ...!”

Dua kucing itu meloncat. Duduk di sampingku.

... Senja. Dan Hujan masih menderas.

***

Pertengahan Syaban 1416 H

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun