Kasus dengan korban Yuyun, 14 tahun, setelah diperkosa empat belas pemuda dan dibunuh, menyentak kita. Kok bisa tak beradab begitu mereka, warga bangsa yang terkenal Pancasilais? Jawabannya, karena mereka mabuk. Dari tulisan kompasianer, saya menjadi faham meski gagal secara nurani dan akal sehat.
Karena mencuat, maka hingga pembicaraan perihal kejahatan sadis itu menaik ke level menteri. Dan dua orang menteri perempuan Kabinet Kerja ini mengharap, para pelaku dihukum kebiri – dimandulkan. Selain hukuman secara pidana yang berlaku.
Bagaimana dengan mereka yang korupsi – sebagai penyandang kejahatan ekstra? Beritanya mengalir deras tiap hari. Dari tingkat lokal – kepala daerah dan jajarannya – hingga nasional. Bahkan kemudian meng-internasional dengan kaburnya mereka ke luar negeri untuk tidak gampang diciduk aparat kita yang selalu kehabisan energi .
Lalu, kalau kita tanyakan bagaimana dengan pencegahannya? Mungkin bisa disebut berjalan di tempat. Dan ketika wakil pimpinan KPK menyebut, sayangnya, para aktivis dan mantan (ketua) HMI yang awalnya idealis “beberapa” yang menjadi tersangka korupsi. Sehingga mereka yang dari kalangan ini menggugat balik. Tak terima. Bahkan demo, dan anarkis. Lha, apa salah piranti Gedung? Sampai dicorat-caret. Terjadi perusakan gedung. Saya ragu kalau begini: Himpunan Mahasiswa Islam.
Perihal kejahatan ekstra lain, narkoba, saya kesampingan dulu. Karena ini tak kalah memberondong. Di mana BNN baru saja menyita sabu di kisaran sepuluh kilogram beratnya – berapa tuh harganya?
Jujur dan Santun
Selalu kita dapatkan sebuah pemeo bila mendapati para pelaku kejahatan, baik pemerkosa maupun koruptor. Hukum yang berat dan setimpal – entah tingkat apalagi. Intinya, untuk membuat efek jera. Karena kalau yang ringan-ringan saja, semisal penyanyi naif yang melecehkan Pancasila justru dijadikan “duta”. Lha, piye jadi jera? Bagi Sang Penyanyi itu, mungkin tertawa di dalam hati: horeeee ...! Apa kate gue. Gue ini nggak salah-salah amat.
Jika kita memperhatikan para pelaku korupsi atawa koruptor, hampir selalu bisa kita amati ndak stres-stres amat seperti pelaku kejahatan, terutama: pemerkosa. Saat melewati panggilan ke KPK, misalnya, ia (atau mereka) masih bisa senyum-senyum. Sambil melambaikan tangan. Boleh jadi, pelaku tindakan kriminal pemerkosa sudah dihajar habis – karena umumnya mereka dari kaum marjinal yang tak punya uang. Mungkin koruptor bisa menggunakan bahasa, membeli perempuan yang mlodong-mlodong juga bisa. Berapa pun harganya. Lha, koruptor? Punya sedikit uang untuk meredakan jangan sampai dipukul atau didikte. Rasanya ndak ada kedengaran penganiayaan terhadap mereka secara fisik. Kenapa? Entah. Entahlah.
Oleh karena itu, apabila diberlakukan hukuman berat kepada pemerkosa dan koruptor, selalu ada pembelaan dari pengacara dan kolega-koleganya dengan balutan eufisme yang indah. Bahkan pemimpin yang akan mencalonkan sebagai ketua umum partai pun menjadi klir, bersih. Untuk ikut pilkada, juga bisa. Bahkan ketika ia menang dengan status tersangka pun, dilantik. Ya, pada pemerkosa, tidak! Tak mendapatkan itu.
Bagaimana kalau koruptor dihabisi? Jangan-jangan yang tinggal hanya Jokowi. Ini memang menyakitkan. Setidaknya bagi kita yang kerap tahu pada pelaku kejahatan ekstra dengan uang yang mencapai sehahaha – saking banyaknya. Karena mereka – kebetulan suami/istri – pejabat yang korupsinya atau penyelewengan uangnya tak tanggung-tanggung, toh masih hidup bebas bahkan masih pejabat publik. Bisa dua kali pula. Plus, tak tersentuh. Bahkan sang pasangan atau anak-anaknya siap-siap untuk menjadi peserta ajang mencari pemimpin berikutnya. Opo tumon? Ya, inilah kenyataannya.
Metamorfosis para pelaku kejahatan – pemerkosa atau koruptor – apa tidak lebih baik dikebiri saja? Agar kapok. Wacana ini boleh juga untuk dikaji. Meski implementasi dikebiri untuk koruptor adalah (bisa) dimiskinkan dan keluarganya dipermalukan secara habis-habisan? Tidak kemudian dijadikan simbol bahwa “sesungguhnya” mereka hanya lagi apes atawa korban politik dan intrik belaka.
Pembelaan bahwa HMI bukan sarang atau pendadaran koruptor, memang selalu muncul dari kalangan yang merasa terusik. Yang bisa jadi, mereka tidak kena apes. Atau ketika lolos, dan kemudian menjadi pahlawan? Atau dari kalangan religius yang terseret korupsi, bisa menjadi kyai suci, agamawan bersih. Bisa paling menonjol, ketika ada kesempatan, dalam gerakan keagamaan. Sekaligus sosial.
Sepertinya selalu melingkar-lingkar perihal pelaku kejahatan (ekstra) dan penghukumannya. Andai pengebirian menjadi keputusan, barangkali bagi yang jauh untuk ikut berkubang di dalamnya akan bersorak: horeeee ...!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H