Gitaris Queen
“Tuuuun ....ayo, siap-siap!” kata Anin, 3 tahun.
Tak kuasa menampiknya. Meski badan masih berasa lelah, betis kenceng, dan punggung berat setelah sehari dan semalam nginap di Majalengka untuk mengirim buku “Fira, Haruskah Kutunggu Kau di Sorga?” di awal long weekend – menjumpai pengarangnya Didik Sedyadi. Maka, hanya bercelana pendek, saya ikuti ajakan Anin, cucu.
Ya, sebenarnya geretan ibunya, Arum, sebelum Maghrib Sabtu kemarin (7/5). Untuk ke The Big Bad Wolf, Book Sale Jakarta, sebua bazar edan-edanan soal buku yang masih menjadi barang mahal dan langka di negeri ini.
Jadilah meluncur ke BSD. Di mana, kali ini sesungguhnya sulit untuk disebut pameran buku. Karena buku-buku berserakan, menumpuk dan tebal-tebal. Plus bagus-bagus. Tentu, sesuai dengan harganya. Namanya saja buku impor, walau sudah dikorting dan tetap (bisa) mbikin kriting kantong.
Hanya satu penerbit lokal, Mizan, itu pun buku lama yang dijual di kisaran lima belas ribu rupiah di hal 10 yang malam itu cukup penuh. Walau “pameran” itu adanya seperti sebuah gudang. Saking luas dan tingginya atap tempat bazaar buku di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City ini.
Drakula dan Buku
Badan pegel-pegel, menguap manakala menemukan Dracula-nya Bram Stoker yang bukunya sudah saya baca tiga puluh tahun lalu. Dan filmnya sudah saya tonton, terutama yang versi mengesankan ketika dimainkan oleh Brat Pitt, Gary Oldman, Keanu Reeves, Winona Rider, begitu manis. Drakula yang tidak sepenuhnya serem, seperti garapan sebelumnya.
Pilihannya, jatuh pada cover-cover buku yang menggiurkan – dan ini menjadi titik tolak penulisan. Bagaimanapun, dalam waktu singkat sulit untuk memilih buku-buku impor itu. Ya, dengan melihat sampul dan membaca judul, segera mengerti buku apa itu.
Dan sampul, umumnya Super mewah, dengan kualitas pencetakan yang prima. Boleh jadi, secara teknis sulit untuk dijangkau oleh pencetakan kita pada hasil akhir. Ini menyangkut teknis dan non teknis, pembiayaan pencetakannya, tentu.
Setelah memilih-milah, beberapa buku pun kupotret cover-cover indah itu. Saya jadi berkesimpulan, bahwa: Jangan menilai buku dari sampulnya (dont judge by its cover) kurang berlaku di sini. Bagaimanapun, cover yang digarap serius, akan menghubungkan dengan isi buku itu. Di sini hasil pergulatan desainer sampul buku untuk merumuskan dari judul dan isinya.
Singkatnya, menggambarkan apa maunya penulis. Walau, desainer cover bukulah yang mengimajinasikan sebuah sampul buku – yang menarik dan sekaligus menggilitik calon pembaca (pembeli) buku itu. Dialah penggarap yang ikut menentukannya.
Sebuah buku best selling Karen Swan berjudul Prima Donna, cukup menggambarkan seorang wanita berpakaian mewah yang menaiki tangga dari sebuah gedung mirip kerajaan, berkarpet merah, lampu hias kristal. Teks judul dan nama pengarang hampir sama besar point fontnya. Ini hampir mendominasi pada buku-buku pengarang terkenal. Judul dan nama pengarangnya “seimbang”, untuk dijadikan jualan.
Pengarang-pengarang sekelas – yang diresensi “New York Times” – hampir selalu menerakan namanya sama besar dengan judul. Di Indonesia, rada sebaliknya. Boleh jadi, ini berkait dengan daya jual yang best seller.
Ambil contoh buku The Da Vinci Code-nya Dan Brown. Buku yang menggegerkan ini sudah diterjemahkan ke dalam 51 bahasa dan terjual lebih dari 81 juta copi. Atau karya Harper Lee untuk Mocking Bird, juga sudah dialihabahasakan ke Bahasa Indonesia.
Musik dan Film
Menikmati buku-buku impor dalam jumlah besar dan mewah, membutuhkan cara saat berada di sebuah event seperti ini. Kita kita melihat plank atau tanda, semisal: fiksi, non-fiksi, travel, desain, foto atau hiburan. Sehingga dalam “belanja” buku menjadi efektif. Lebih-lebih di acara yang memang seperti ditunjukkan kepada orang-orang yang hanya melihat-lihat tanpa menentengnya ketika pulang kemudian.
Bazzar buku semacam ini, jelas bagi pembelinya menganggap murah harga yang ditawarkan, pun kita bisa melihat siapa-siapa yang berbelanja asupan bergizi seperti ini. Walau di negeri ini, berdasarkan laporan Unesco, kita masih minim dalam menyimak larik-larik teks yang menjemukan dibandingkan dengan media audio visual.
Ya, 1 (satu) judul buku dikerubuti oleh seribu orang. Amat minim dibandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Eropa atau Amerika. Maka gerakan membaca yang tahun 2016 ini dicanangkan masih membutuhkan perjuangan panjang. Mengingat, seperti dalam laporan Central Conecticut State University, AS. Bahwa Indonesia ada peringkat buntut, yakni di peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti perihal literasi para warganya.
Buku yang kemudian diputari di gudang ini, kian menggiurkan bagi orang-orang yang haus pada teks-teks bacaan. Jika menyasar pada buku dengan genre tertentu, akan mendapatkan di acara yang berlangsung 24 jam di hari-hari tertentu di acara seperti ini. Kita bisa menyimak buku-buku tentang musik, film, traveling, kuliner, sampai hobi.
Buku-buku impor itu pun – memang tidak dari hanya satu negara – menggambarkan seriusnya buku yang masih menggunakan kertas sebagai bahan bakunya. Dan perburuan buku ini bisa menghilangkan kepegelan dan kelelahan badan. Karena, buku, seperti kata Prof. Fuad Hassan, sebagai salah satu hal yang boleh dicandui.
Kecanduan buku? Ah, yayaya. Pengin juga negeri ini menjadi pembaca buku yang getol, seperti, tentu diharapkan oleh Najwa Shihab sebagai Duta Baca Indonesia 2016. Yang “patung”nya ada di pintu masuk bazaar buku ini bersama Andi F Noya, Duta Baca sebelumnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H