Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Napak Tilas Setting Cerpen Majalengka-nya Didik Sedyadi

6 Mei 2016   14:45 Diperbarui: 6 Mei 2016   16:43 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung yang dilalui dalam perjalanan napak tilas cerpen Didik (foto-foto TS)

Cerpen-cerpen Didik Sedyadi yang terhimpun dalam buku “Fira, Haruskah Kutunggu Kau di Sorga” awal Mei ini jadi. Semua cerpen yang termaktub di dalamnya sudah kubaca. Ada gelitikan untuk menapaktilasi setting yang digambarkan dengan “tipis” oleh pengarangnya, terutama tentang Majalengka, Gunung Ciremai,  atau paralayang dan Taman Digantara, yang masih segaris dengan SMAN 1 Majalengka tempat Didik mengajar sebagai guru matematika, di Jalan Abdul Halim.

Sore yang cerah, meski mulai meredup ketika aku tiba persis di depan Smansa Majalengka, di mana Didik Sedyadi, pak guru  dan kompasianer ini menunggu. Rupanya ia didampingi Alifia R Ardelia – pemeran utama cerpen Syal Rajutan Fia. “Saya kadang dipanggilnya Alif,” kata gadis berjilbab yang segera membuka-buka buku kumpulan cerpen yang kubawa dari Jakarta itu.

didik-sma1-572c492f6c7e6179130f3e29.jpg
didik-sma1-572c492f6c7e6179130f3e29.jpg
Buku kumcer "Fira ...." diterima Didik Sedyadi di SMAN 1 MajalengkaDi ruang tamu SMAN 1 Majalengka yang  mulai dirambati senja, dan adzan Maghrib berkumandang membuat perpisahan dengan Alifia tak terhindarkan. Kami pun – saya dan Didik – salat Marghrib di mushala. Ah, gelap pun genap di sekolah paling terkenal di Majalengka yang berdampingan dengan Universitas Majalengka. Dan, saya diantar untuk istirahat di hotel yang hanya di seberang Taman Dirgantara, masih di Jalan Abdul Halim.

MerekaituSatuGangPendaki

Malam itu, setelah makan ikan air tawar di RM Djaja nongkrong di Taman Dirgantara. Sang pengarang pun bercerita tentang anak-anak didiknya yang dijadikan pemeran dalam cerpen-cerpennya. Termasuk Taman Dirgantara yang malam libur hari Rabu (4/5) tak seberapa ramai orang. Di mana ada nongkrong pesawat perang (non komersial) berdiri.

“Anak-anak dalam cerpen itu sebenarnya satu gang. Mereka kerap naik gunung, termasuk ke Gunung Ciremai,” kisah Didik tentang anak-anak Smansa dalam bukunya yang kuantar ke Majalengka itu.

Dan serenteng kisah di antara mereka, yang meminta dan menginspirasi sehingga terhimpun empat belas cerpen atas dasar permintaan (request) para muridnya. Tentang anak-anak yang berkisah kepada sang pengarang. Bahkan latar belakang keluarga, penamaan, setting serta hal-hal yang kadang terpaksa diumpetin. Demi menjaga privasi. “Tapi ya namanya anak-anak sekarang. Kadang saya terhenyak. Di mana, misalnya, mereka dalam perebutan ... pacar hehehe,” tutur Didik.

didik-dirgantara-572c49cde222bde706d3e3bc.jpg
didik-dirgantara-572c49cde222bde706d3e3bc.jpg
Ada gunung Ciremai yang samar-samar pada pagi hari.

“Sayangnya, di sini masih minim yang mengarang,” kata Didik sambil tertawa.

Tak apa. Setidaknya, Didik sebagai pengarang kerap menggoda anak didiknya untuk membaca. Ya, membaca. Sebagai langkah awal mereka untuk bergiat dalam menulis. Semisal, dari sebuah info yang diperoleh ada siswa yang akan ulang tahun. Lalu ia pun meminta anak lain untuk mengerjainya. Seperti membuat pertanyaan yang sulit, sehingga sampai nangis-nangis si anak yang ulang tahun itu, dan di ujungnya, “Saya menghadiahi buku. Kalau ada buku karya saya, apalagi,” kisah Sang Guru yang beristri guru matematika juga. Aduh, teganya yang Pak Guru matematika ini  hahaha.

didik-pemandangan-ok-572c4a640e9773ae0875e74d.jpg
didik-pemandangan-ok-572c4a640e9773ae0875e74d.jpg
Setting gunung-gunung di Majalengka, menginspirasi Didik

Pada perjalanan pulang esoknya ke Jakarta, untuk naik kereta api di Cirebon, Didik bercerita tempat-tempat anak didiknya dalam cerita pendek bernuansa romantika, kelucuan dan kegemasan dari tokoh-tokohnya serta keharuan. Semisal anak didiknya yang mesti bersekolah dengan sepeda motor dengan jarak tempuh sekitar 12 km. “Sehingga kalau musim hujan, mereka kerap telat masuk sekolah,” ungkap Didik yang mengendarai mobil kecil, dan saya duduk di sampingnya.

Itu tak aneh. Karena kontur Kabupaten Majalengka yang berbukit-bukit. Sehingga di daerah Kecamatan Rajagaluh, berderet penjualan tanaman hias, dan bibit tanaman seperti mangga, belimbing, jeruk. Cukup terkenal. Persis seperti gunung yang dipapras untuk kemudian dibuat batu hias. Sebagian digunakan untuk bahan semen.

didik-stasiun-572c4b19567b6161068d619d.jpg
didik-stasiun-572c4b19567b6161068d619d.jpg
Buku Kumcer "Fira...." dan oleh-oleh Majalengka. Ini di Stasiun Prujakan, CirebonPagi itu, perjalanan lewat jalan alternatif, yang tembus ke Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon dihiasi dengan perbincangan untuk kelulusan SMAN, hari Sabtu besok (7/5).  Masih banyak yang belum diceritakan seperti dalam cerpen-cerpen karya Didik Sedyadi. Namun setidaknya, Majalengka di tangan lelaki kelahiran Purbalingga, Banyumas menjadi cerita yang renyah oleh tawa Shafira, Aini, Rozica, Ayu, Erika Nadila atau Alifia yang kutemui secara langsung.

Salam, Kompasiana. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun