Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pada Koruptor, Kami Pesimis

22 April 2016   07:18 Diperbarui: 22 April 2016   07:47 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="gambar diambil dari: korankabar.com"][/caption]Saya termasuk orang yang pesimis-skeptis dan nangis untuk soal korupsi. Kalau mau diperluas, KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Ndak cuma korupsinya. Tapi titik beratnya, tindakan, mengggangsir uang negara (baca: uang rakyat) juga.

Di KOMPAS, Kamis 21 April 2016 “Konglomerasi Besar Terlibat”, di mana KPK Tangkap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Siapa yang ditangkap? Ya, Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Artinya, jelas: ketika ada korupsi, dan kemudian tertangkaplah koruptor maka ada persidangan. Sebelumnya, ada diolah dan ditangani, termasuk Kejaksaan. Dan kita pernah punya Jaksa teladan Urip Tri yang ditangkap tangan KPK. Dengan adegannya mirip dalam film. Ia, sang jaksa teladan itu mbanggel ketika akan dimasukkan ke dalam mobil. Ternyata, sang teladan itu meladeni permintaan Artalyta Suryani – sang pesakitan yang bisa membuat ruang tahanannya nyaman bak hotel berbintang. Ada salon dan sebagainya.

Jelas sudah, jalin kelindan masalah ini. Hukum, masih mengawang-awang. Atau setidaknya, tak menjerakan mereka yang ketika dihukum dan menjalaninya di tempat bukan yang horor sebagaimana sebuah tahanan. Karena bisa menikmati fasilitas seperti Artalyta itu. Dengan uangnya bisa mengatur semuanya. Sehingga “terbaru” tertangkap tangannya politikus M. Sanusi dan petinggi properti hanya bagian dari seperti DWP, politikus dapil Jawa Tengah yang menggandeng teman-temannya dari Gedung Rakyat Senayan. Untuk urusan proyek jalan nun di sana. Dengan PUPR yang digoda.

Kita akan menyaksikan mereka – para koruptor – melambai dan senyum-senyum ketika diminta hadir untuk diperiksa KPK. Yang punya nyali, akan berkata dengan lantang di depan para awak media. Atau ndak komen, seraya menunjuk pengacara. Juga bisa ngeluyur masuk ke mobil. Pendeknya, tergantung nyalinya. Koruptor yang bunuh diri, nyaris tak terdengar ada.

Jika ada diperkirakan 11 ribu triliun rupiah uang orang-orang Indonesia di dalam laporan Panama Paper, kiranya kita bisa menebak-nebak. Apakah benar-benar uang itu dari hasil jerih payah sebagai pengusaha atau penguasa? Atau, sebagian besar uang untuk tidak “diminta” negara Republik Indonesia. Ketua BPK (aktif) saja bisa punya banyak alasan. Kenapa ia sampai nyimpen duitnya di sono. Yang mungkin, jelas ndak cuma semilyar rupiah, digitnya bisa 13. Angka sial yang mesti diumpetin.

Tulisan ini ndak berarti apa-apa. Karena memang mereka, para penggangsir uang kurang beres, pedulinya pada dirinya, keluarga dan sampai mati pun mungkin masih tersisa banyak. Sementara, di antara kita masih terlalu banyak yang menderita. Ndak bisa sekolah, makan entah berapakali sekali dalam sehari. Sayangnya, para agamawan pun tak bisa mengerem itu. Bahkan ada yang ikut berkubang di sana. Entah berapa pun jumlahnya.

Perihal korupsi, saya tetap pesimis-skeptis dan nangis. Kalau Anda: jangan! (Biar koruptor ndak lapor sama pihak yang bisa melindunginya. Bukan Nya, lho!)

***    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun