Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru... Guru... Guru... Nasibmu!

11 Maret 2016   08:28 Diperbarui: 11 Maret 2016   08:49 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Guru seperti ini, masih ada di era digital. (foto: repro kompas/ismail zakaria)"][/caption]

APA yang bisa kita tuliskan, dan kabarkan apabila menyimak gambar di atas? Tentang seorang guru honorer, seorang wanita yang menggendong anak, dinding kayu dan siswa-siswa yang tekun menulis. Bisa banyak cerita, komentar dan helaan nafas nan panjang.

Kisah seorang guru di tempat nun jauh dari ibukota Negara yang sedang gaduh oleh karena bakal calon gubernur yang ingin “berkarya”, mungkin sangat tak menarik. Apalagi bagi politikus yang turun dari mobil konclong, dan kalau berjalan di atas karpet merah sampai bisa bertegur sapa dengan calon Presiden dari Negara adidaya Paman Sam sana.

Guru, masih menjadi cerita nelangsa bagi mereka yang benar-benar ingin berbagi “Ilmu” kepada anak bangsa. Agar perbaikan – sesuai dengan Undang-undang yang telah ditetapkan sejak awal negeri ini berdiri – lebih nyata dan konkret. Walau, untuk itu mereka terseok-seok, termasuk untuk mendapatkan “imbalan jasa” atas tenaga-pikirannya.

Wistinar Taileleo, guru honorer wanita yang mengajar sambil menggendong anak usia enam bulan itu, sebuah fakta yang ada. Ia mengajar di wilayah Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat, tentulah bukan sebuah skenario untuk abal-abal. Ia telah membagikan kasihnya – dengan segala keterbatasan, termasuk mungkin ilmunya – tanpa syarat. Karena itulah daerah tertinggal yang baru menarik bagi politikus untu memanfaatkannya. Yang selalu kekurangan tenaga pengajar.

Dalam tulisan disini Nur Rohim menjadi keniscayaan lain dari para guru terpencil. Yang juga tetap berkarya, dan “melawan” ketidakadilan yang semestinya dinikmati warga negeri ini. Para anak-anak pemilik masa depan dari negeri 250 juta jiwa. Tidak oleh para wakil berjumlah 550 yang berada di Senayan yang kian pudar kepercayaan warga ini.

Kisah Wistinar, adalah kisah kita yang masih terus belajar dari ketidakadilan oleh para pemimpin yang senang dengan baju kepalsuan. Kekurangan beberapa guru yang “nakal” tak berarti mengabaikan pendidikan pada anak-anak negeri ini. Agar mereka setara dengan yang ada di pusat kekuasaan – yang selalu menjadi incaran para orang rakus kekuasaan. ***      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun