Berapa kesepakatan usia anak-anak itu tersebutkan? Baiklah. Pakai angka standar saja: 18, sudah layak disebut “dewasa”. Tujuh belas bisalah disebut “antara”, in between. Lalu, kalau ada seseorang yang masih duduk di bangku SMP (kelas tujuh sampai kelas sepuluh), notabene di kisaran 13 tahun sampai dengan 16 tahun, maka ia masuk kategori itu, tentu” anak-anak.
Lalu, sebagai era modern apakah anak-anak boleh “menikmati” seks alias bersenggama (Making Love, ML menjadi istilah popular di antara mereka)? Mestinya tidak. Jawaban standar. Mengingat itu usia belum matang untuk melakukan, di mana jika “jadi” hamil bagi pihak perempuan belum matang menghadapi persoalan pelik itu. Biasanya hanya ada dua: pengguguran (aborsi) dan menikah (merried). Dua-duanya bukan jalan keluar yang baik, benar serta menabrak ajaran agama. Dan, tentu, pihak laki-laki bertanggung jawab pun dalam situasi kebingungan.
Maka, ketika satu-dua hari ini ada berita tentang sepasang anak usia sekolah SMP (ada yang menyebut di media online masih SD) sehabis ngamar di sebuah hotel dilanjutkan dengan selfie. Dengan enjoy mereka melewati masa-masa yang belum “masak” bagi mereka. Yang mengejutkan, diduga pasang belia ini tinggal di kawasan Cilamaya, Karawang, Jawa barat. Bukan anak ibukota.
Bertitik tolak dari berita yang kemudian juga tertuliskan di Kompasiana, saya mencoba melihat dari sisi lain. Yakni modernitas anak-anak dalam melewati masanya. Di sini ada beberapa aspek yang bisa dicatat: hotel, fotografi, teknologi informasi (medsos), dan (pengetahuan) seks itu sendiri sebagai sebuah hal yang mestinya bukan hantu yang disalahkan begitu saja.
Kenapa Hotel?
Dari foto (saya sengaja tak ingin mengunggahnya di sini, yang mana pun) dapat saya lihat kekhasan sebuah kamar hotel. Dinding bagian belakang kepala tempat tidur dari lapisan kayu yang tidak penuh dari dinding cat warna cerah yang ada. Kemudian ada lampu di atas kepala bagi tamu dan belakang sebagai lampu baca. Juga jendela, pintu dan tirai. Pada pintu, bisa dilihat sebagi pintu (kayu) ke teras hotel hotel, di mana ada juga kursi kayu yang digunakan untuk duduk anak laki-laki saat disun pasangannya. Lalu, tempat tidur lengkap dengan bantal, guling dan selimutnya.
Yang menarik, di teras hotel itulah anak perempuan tampak memberikan sebuah ciuman bagi sang pasangan, dengan rambut masih basah. Sebuah adegan yang telah dilewatkan dengan suasana nyaman, berarti mereka tidak melakukan persetubuhan secara terburu-buru dan aman bagi keduanya. Singkatnya, bukan di rumah mereka.
Hotel, jelas bukan tempat popular bagi anak-anak (kecuali datang dan menginapnya dengan orangtua). Mengingat hotel, sebuah tempat yang selazimnya diperuntukan istirahat sementara (non permanen), karena bisnis, liburan atau sedang mengerjakan sesuatu (menulis, misalnya) agar tak terganggu.
Dengan kata lain, jika pasangan anak laki-laki dan perempuan itu ke hotel dan sengaja berkunjung dalam waktu tertentu, karena sebuah niatan berupa menabrakan larangan secara norma sosial dan agama. Hanya dapat dilakukan oleh mereka yang “biasa” atau nekad. Bahwa pihak hotel yang menerima karena yang penting bisnis jalan, itu soal yang menjadi perdebatan lain.
Kenapa Mesti Berselfie?
Inilah yang tak habis pikir. Kok sempat-sempatnya sebuah perjalanan senang-senang (ML, maksudnya) mesti diakhiri dengan berfoto bareng secara selfie (swa-foto). Baik di atas tempat tidur, meski masih dengan selimut, di teras hotel dan adegan si anak laki-laki menindih si perempuan.
Bukankah tindakan selfie itu, sebuah kesalahan fatal? Tak terpikirkan oleh, terutama, yang perempuan. Pihak yang kerap menjadi kalah dan bisa dijadika pemerasan jika di kemudian hari keduanya berpisah karena suatu hal, biasanya disebabkan emosi mereka yang memasuki usia labil (sturm drunk periode).
Selfie, memang sebuah pekerjaan gampang. Baik dilakukan oleh anak perempuan maupun laki-laki. Dan selfie dianggap akan menambah kegairahan pasangan (belia sekalipun) yang merasa kurang lengkap tanpa itu. Entah sebagai tanda sayang untuk kenang-kenangan (Kok, sepertinya akan menjadi perpisahan?) dan seterusnya. Sebuah tindakan mudah dengan Hp modern di tangan yang menjadi pegangan pasangan muda sekarang.
Medsos Bagian dari Modernitas
Pertama, saat bisa kita baca dari apa yang tertera akun FB. Di mana si anak perempuan, dengan bangganya bahwa ia disebut sebagai: Gw tuh orangnya cantik-imutt oleh mamanya. Selain, di situ ada teks. Bahwa ia lahir dari orangtuanya yang: anak didik mamah hasil goyangan papah.
Dari akun si anak perempuan itu, jelas. Setidaknya ia tak begitu gagap-gagap amat dalam soal menggunakan media sosial ini. Yang menjadi soal, ia kenapa mesti berselfie dengan pasangannya? Jika kemudian ada “kecelakaan” kalau hasil selfie berduanya sekarang bisa “dibaca” oleh jutaan orang. Lepas dari siapa pun yang memanfaatkan hasil ngamarnya itu.
Filter dari penggunaan era modern tidaklah gampang. Kalau tidak, bukan saja sekelas seorang super star, ganteng yang bisa “memangsa” lebih dari seorang artis sebagai koleganya di ranah dunia hiburan. Hal yang sangat gampang. Jadi, si anak perempuan belia itu pun berpikir, kenapa tak bisa menirunya? Ya, meski kali ini bukan secara “gambar hidup” dan teknis per-ML-annya tersebut.
Seks yang Dangkal
Teks atau status akun FB si anak perempuan yang menyebutkan ia merupakan hasil “goyangan” mama-papanya, cukup mejelaskan. Bahwa ia punya sedikit pengetahuan “reproduksi” organ orangtuanya. Setidaknya, ia lahir dari sebuah perkawinan atas nama agama (apa pun).
Namun kosa kata “goyangan”, bisa menelisik seperti apa ia berpengetahuan tentang “reproduksi” dirinya itu. Bahwa ia buah hati dari orangtuanya. Meski, secara dangkal dipahaminya. Karena, ia buktinya melakukan hal yang sama dan tak memikirkan akibatnya.
Selanjutnya teks: Dan klo ngomong gw mah orangny ceplas ceplos. Selebihny ketemu aj dahh.
Pada teks ini seperti ada tawaran mudah dirinya untuk urusan seks. Bisa dibaca sebagai, bahwa ia “gampangan” dan bisa dengan siapa saja.
Terori Mana? Tetap Sebuah Kesalahan
Dari empat aspek yang saya bahas tentang kemodernan seks di kalangan anak-anak, dengan kasus anak Karawang itu, mengait sejumlah hal. Tak dibahas secara lebih mendalam di sini. Hanya bisa dijadikan sebuah warning bagi orangtua. Bahwa hal-hal yang berbau modern, tak selamanya mesti diikuti untuk mengikuti arus zaman, bagi anak-anaknya.
Teknologi dan modernitas, tidak kian maju menjadi kian longgar (permisif) dalam sebuah pergaulan di sosial yang kini dikuasai oleh era digital. Apalagi bagi anak-anak yang hanya lebih menuruti emosinya. Tanpa mengerti apa akibatnya.
Camkan itu! ***
Angkasapuri, 4/3/16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H