[caption caption="Bambang P. DJati dan Pak Domo (foto: dok Bambang PD)"][/caption]SEBAGAI relawan PMI, Bambang Purnomo Djati biasa bekerja di lapangan dengan improvisasi tinggi. Apalagi kalau untuk urusan ke Kepulauan Seribu, yang telah dijelajahi selama belasan tahun sebagai seorang PNS di Kabupaten wilayah DKI Jakarta. Ia telah akrab dengan air laut yang biru wilayah yang masih di bawah DKI Jakarta itu. Ia biasa bertandang ke pulau-pulau, yang sebagian adalah milik bukan Negara. Jumlah pulau di Kepulauan Seribu 110 Pulau.
Oleh karenanya, ketika serombongan mahasiswa Unika Atma Jaya akan survei ke Kepulauan Seribu, Bambang dengan ringan menyambut mereka yang datang ke Kantornya di Mitra Praja di Sunter Jakarta Utara. Merupakan Kantor kepanjangan Kepulaun Seribu di darat, Jakarta. “Saya anak dari Bu Nur. Katanya Bapak bisa membantu,” jelas salah seorang mahasiswa itu dengan bahasa penuh harap.
Lalu diceritakan maksud kedatangannya. Bukan untuk acara liburan. Namun untuk melakukan study lapangan untuk “menyambung” mata kuliah di bangku perguruan tinggi yang terbatas. Artinya, kuliah di lapangan sesuai dengan bidang yang ditekuni dan merupakan bagian penting untuk mengejawantahkan keilmuannya. Dan kebetulan, mesti ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Yakni Pulau Satu.
Tanpa berpikir panjang, Pak Bambang menyanggupi untuk keperluan “kuliah di lapangan” para mahasiswa Unika Atma Jaya itu. Pikir lelaki yang punya kemampuan soal hypnoterapi ini, berapalah uang mahasiswa yang nota bene masih “meminta” orangtua. Tentu tidak longgar. Untuk itulah Bambang membantu dengan sebisanya.
Pagi itu, dua belas orang mahasiswa Unika Atma Jaya sudah berada di Pantai Marina, Ancol Jakarta Utara. Mereka merasa lega ketika Pak Bambang muncul, dan meminta agar mereka sabar sebentar. Mereka mesti menahan dengan bayangan diving – yang menjadi bagian dari acaranya ke Pulau Satu itu. “Bisa. Atas bantuan Pak Domo, kita akan naik Kapal TNI Kepulauan Seribu,” jelas Pak Bambang.
“Amiiiin ….terima kasih!” sorak laki-laki dan perempuan mahasiswa itu.
Ya, mereka lega, senang bercampur tidak percaya. Kalau kuliah kerja ke salah satu Kepulauan Seribu itu bisa dibantu dan apalagi bertemu dengan orang yang pernah dekat dengan kekuasaan, Pak Sudomo, mantan Komkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban) di era Orde Baru. Seorang Laksamana atau setingkat Jenderal di lingkungan Angkatan Laut. “Tapi nanti saya dengan Pak Domo akan di Pulau Cina, dekat Pulau Kepala. Jadi, nikmati saja acara kalian di Pulau Satu,” kata Pak Bambang pada para mahasiswa itu.
“Ya, Pak. Tidak apa-apa, ” sahut mereka serempak.
Kapal kecil berkapasitas tak sampai dua puluh orang itu pun melaju ke Pulau Satu untuk mengantarkan para mahasiswa Unika Atma Jaya itu. Dan sempat bebincang dengan Pak Domo yang berambut keperak-perakan.
Memijit Pencetus SDSB
Pak Bambang segera akrab dengan mantan orang penting di Era Orde Baru. Jabatannya, luyaman ditakut-segani, meski ia berpembawaan santai dengan kerap dengan humor-humornya. Di antaranya ketika marak sejenis “judi” bernama SDSB yang diplesetkan menjadi Sudomo Datang Semua Beres.
“Orangnya ramah, meski tetap berwibawa,” tutur Pak Bambang yang berada di Pulau bersama Pak Domo itu.
Ketersambungannya, karena Pak Domo orang yang senang dipijit. Nah, ada teman Pak Bambang yang hampir tiap pagi rumah Pak Domo yang pernah menikah dengan seorang artis. “Pak Domo memang orangnya senang dipijit. Ya, karena saya bisa, jadi nyambung. Ibaratnya, saya jadi mudah dan tidak canggung. Bisa ngobrol saat memijitnya,” kata Pak Bambang.
Perbincangannya sendiri, macam-macam, terutama tentang masa lalu lelaki asal Jawa yang senang berkelakar itu. Termasuk menyebut dirinya lelaki yang sering dikerubuti wanita. “Satu tahun kemudian, ketemu dengan Pak Domo di Hotel Sahid,” lanjut Pak Bambang.
Dan oleh oleh-oleh dari “kerja” Pak Bambang itu tak lain karena kepiawaiannya dalam soal terapi yang diterapkannya. Meski itu dilakukan, kadang dengan suka rela. Maka ketika akan pulang dan ia diberi satu boks penuh ikan kakap merah melalui asisten Pak Domo bernama Pak Eddy tak ditampiknya. Jauh lebih mahal daripada “jasa” pijitannya. “Kejadian pada tahun 2010 sepuluh itu cukup membekas,” kenang Pak Bambang.
Sebenarnya, itu buah dari uluran tangannya kepada para mahasiswa itu. Dan kebiasaannya memberi bantuan sehingga ia makin dikenal sebagai Si Ringan Tangan dari Kepulauan Seribu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H