Maka, di lingkungan Nur Rohim, yang sesungguhnya tak an sich “mengajar” anak itu, menyediakan ambulans. Bahkan sudah kerja sama dengan pihak Polres dan Tempat Pemakaman. Sehingga, “Kalau ada yang meninggal di sini, kami sudah siap kain kafan, dan cukup uang lima ratus ribu, beres. Uang sejumlah itu untuk biaya penggali kuburan dan papan penutup mayat,” tutur Nur Rohim.
Keterbukaan dan sikap positif untuk memberi bantuan secara kemanusiaan Nur Rohim, bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin “enaknya” sendiri. Semisal, terakhir rame dengan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang dikira ada yang singgah ke Sekolah Master. “Pihak Kepolisian pun menggerebek kemari dikira ada pelariannya ke sini.”
Siswa Diterima Asal Mau Duit
Dengan manajemen Langitan, istilah yang digunakan Nur Rohim di Sekolah Master, toh ia membuktikan diri bisa eksis hingga pada tahun kelima belas sekarang ini. Pokoknya dilakukan secara sadar dan kerja keras serta mengharap pada yang ada di langit, di Atas, Allah. “Karena kalau dihadapkan dengan teori manajemen paling modern pun takkan pernah ketemu,” ucapnya, mantap.
Padahal, Sekolah Master hanya menerapkan: Miskin, hidup dan mau belajar, maka akan diterima di sini. Belajar secara gotong royong dan mandiri bagi para siswanya. Kalaupun mengamen di jalan mesti pulang kembali untuk belajar. “Saya berharap siswa-siswa di Sekolah Master ini kelak akan menjadi agen perubahan,” ujarnya serius.
Mereka yang diterima di Sekolah Master perlu benar yang namanya DUIT. Apa itu? “Doa, Usaha, Iman, Tawakal!” sebuah tawaran yang kalau bisa tak ditawar-tawar. Karena itulah modal mereka dari kaum papa.
Ketika pada kenyataannya anak-anak bisa lulus dari Sekolah Master dan lolos belajar, semisal diterima di UI membanggakan bagi seorang Nur Rohim. Atau ke perguruan-perguruan tinggi lain yang menerima siswa dari gelandangan. Mengingat mereka belajar dengan prasarana dan sarana “seadanya” kecuali dengan mental baja. Sekolah yang longgar waktunya, dan sebagian tidur uyel-uyelan di tempat ruang telah digunakan untuk “membaca” pelajaran dari para Kakak-Kakaknya, sebutan umum kepada yang mengajar sebagai relawan yang hanya mendapat imbalan makan plus lauk-pauk sangat-sangat sederhana: terong, terong, dan terong!
“Saya mengerti. Tanpa bantuan para relawan, Sekolah Master tak bisa berlangsung seperti sekarang,” kisah Nur Rohim, merendah.