Cikal-bakal ruang belajar Sekolah Master.
Di gedung sekolah ini – yang uniknya “terbuat” dari kontainer – pada dindingnya digambari layaknya coretan graffiti di jalanan. Di sekolah yang didirikan tahun 2000 ini mengajar “mereka” sejak jenjang TK-SD-SMP-SMA. Jam pelajarannya sejak pagi hingga malam hari. Diajar oleh para relawan, pada tahun 2016 sebagian oleh alumni Sekolah Master. Ibaratnya mereka kembali membalas budi pernah belajar di kelas kontainer. Semisal Iffa, gadis berjilbab yang telah lulus dari perguruan tinggi saat mendampingi Kompasianer, kemarin, Sabtu (30/1). “Kalau malam hari selain orang dewasa jalanan, banyak pekerja, baby sitter, ibu rumah tangga yang belajar untuk mengejar ketertinggalan dan memperoleh Kejar Paket,” tutur Nur Rohim.
Gedung Sekolah Master, digambari secara kreatif.
Cara belajarnya, di dalam kontainer dengan lesehan pun jadi. Karena keterbatasan sarana. Ya, ini bukan kelas untuk meraih Strata Dua alias master yang biasanya di ruang elite di jenjang ini. Tidak. Ini sekolah master ala orang yang bisa saja dari manusia tak jelas asal-usulnya. Dalam istilah Pendirinya, “Ada kakak-beradik di sini yang satu ibu namun beda ayah. Ternyata ibunya berhubungan dengan laki-laki yang menjadi ayah masing-masing. Kakak-beradik yang lahir di tiap tahun. Ini unik,” ujar lelaki yang punya ruang “pemilik” Sekolah Master sangat sederhana, persis di sebelah masjid yang emperannya banyak ditiduri mereka pada siang hari ketika Kompasianer di situ.
Karena Nur Rohim menggunakan sistem terbuka itulah kadang menerima orang gila – yang sudah sampai tingkat telanjang – untuk diobati di lingkungan Sekolah Master. “Saya terima. Dan yang pertama saya obati orangtuanya. Bapak-Ibu shalat lima waktunya benar lima kali? Ah, kalau tiga kali, berarti stripnya hanya tiga. Ibarat antena tivi, gambarnya tidak penuh pada layar tivi yang menerima.”
Dan Nur Rohim pun tandang. Memanggil orang-orang sekitar di kliniknya yang dipercaya bisa menangani. Lalu diobati dengan cara bekam, sedot darah kotor, minumin madu asli dan air zam-zam. “Tiga bulan, alhamdulillah. Waras. Dan ketika orangtuanya memeriksakan ke dokter, dokternya bingung: obat apa yang diberikan di Sekolah Master?” Nur Rohim tertawa penampung orang-orang tak jelas itu.