Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kau Masih Gadis atau Sudah Janda?

25 Januari 2016   03:36 Diperbarui: 1 April 2017   09:04 2048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

repro: youtube

 

NDAK seperti biasanya. Kromodongso kelewat luar biasa meracau. Ngacau-belo. Dia terus berulangkali nyanyikan sepotong lagu, begini:

                “Kau masih gadis atau sudah janda

Baik katakan saja jangan malu-malu”

Lalu dengan suara dimirip-miripkan suara wanita:

“Memangnya mengapa aku harus malu.

Abang tentu dapat tuk membedakannya.”

Lalu ada koor, duet antara suara penyanyi laki-laki dengan suara perempuan. Yang perempuan ada suara Asep yang gemar wayang golek Sunda itu.

“Marilah segera kita kawiiin saja…”

Tawa pun berderai-derai. Terutama Tigor yang suaranya bariton itu. Daeng hanya geleng-geleng saja. Melihat tingkah teman-temannya malam itu di gardu yang disaput gerimis Bulan Januari.

“Sesungguhnya apa sih pesan lagu itu, Kromodongso?” tanya Daeng tak bisa menahan diri.

Kromodongso tak menjawab, malah tertawa ngakak dan menuding ke arah Daeng seraya seperti meminta dukungan Asep, yang kebetulan hafal lirik lagu dangdut dan tadi ikut duet bersamanya.

“Itu lagu Partai beringin ….!” kata Asep, malah.

Kromodongso menjentikkan jarinya.

“Nah! Sodokan yang pas. Nggak ada tafsir lain. Ndak menye-menye seperti umumnya orang partai yang ada di Rumah Rahayat itu!” cetus Kromodongso.

“Kamsudnya?” tanya Daeng, polos, bukan maksudnya.

“Nah! Cerdas kamu sekarang. Seperti orang-orang Beringin itu.”

Daeng  garuk-garuk kepala.

“Awaaaaaas …!” seru Kromodongso mengingatkan Daeng.

“Kenapa?” tanya Daeng, lugu.

“Kutunya loncat ….”

Tawa pun berderai-derai. Termasuk Daeng kali ini ikut. Ia nikmat betul berada dengan teman-temannya yang kerap nyanggong di gardu pojokan temapt tinggal mereka.

“Jelas, kan kini?” tanya Kromodongso, sok serius.

Tapi Daeng menggeleng.

“Yang kupahami, sih... Jadi begini. Kalau Golkar itu kutu loncat.”

Kromodongso, Asep dan Tigor bertepuk tangan keras-keras. Serempak. Persis tepuk tangan orang partai kalau pemimpinnya habis pidato sampai kemudian turun dari panggung. Dan pemimpin itu merasa tersanjung, walau mengeluarkan uang segunung dan bahkan keuangan bisnisnya akan terendam lumpur sekalipun hingga selehernya.  Padahal, pidato itu  mengawang-awang yang bisa menjatuhkan dirinya. Karena berat jenisnya yang kelewat tambun dengan perut buncit.

“Kamu sekarang makin cerdas!” puji Kromdongso pada Daeng.

“Karena hatiku tulus!”

Tigor segera menyambar, “Tepat sekali. Seratus untuk Daeng.”

“Oya?”

“Ya. Karena Golkar dengan tulus, akan bergabung dengan Jokowi ….”

Belum habis kata-kata Tigor, Kromodongso sudah menyanyikan lirik lagu yang begitu dijiwainya:

Kau masih gadis atau sudah janda?

“Jreng, jreng …!” sahut Asep dengan mulut.

Tigor pun segera berdiri dan berjoget. Lelaki tinggi gagah dan mirip aktor pemeran antagois itu meliuk-liukkan tubuhnya secara lucu.

***   

 

 Angkasapuri, 25/1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun