“Kutunya loncat ….”
Tawa pun berderai-derai. Termasuk Daeng kali ini ikut. Ia nikmat betul berada dengan teman-temannya yang kerap nyanggong di gardu pojokan temapt tinggal mereka.
“Jelas, kan kini?” tanya Kromodongso, sok serius.
Tapi Daeng menggeleng.
“Yang kupahami, sih... Jadi begini. Kalau Golkar itu kutu loncat.”
Kromodongso, Asep dan Tigor bertepuk tangan keras-keras. Serempak. Persis tepuk tangan orang partai kalau pemimpinnya habis pidato sampai kemudian turun dari panggung. Dan pemimpin itu merasa tersanjung, walau mengeluarkan uang segunung dan bahkan keuangan bisnisnya akan terendam lumpur sekalipun hingga selehernya. Padahal, pidato itu mengawang-awang yang bisa menjatuhkan dirinya. Karena berat jenisnya yang kelewat tambun dengan perut buncit.
“Kamu sekarang makin cerdas!” puji Kromdongso pada Daeng.
“Karena hatiku tulus!”
Tigor segera menyambar, “Tepat sekali. Seratus untuk Daeng.”
“Oya?”
“Ya. Karena Golkar dengan tulus, akan bergabung dengan Jokowi ….”