foto: Tribun.news/jeprina
ATAS nama kebebasan ekspresi: Agnez Mo mengenakan kostum yang di selangkangannya berhuruf Hijayyah. Dan kostumnya, jangan lupa, transpran hitam sehingga tembus pandang atas nama kutang dan cawat di baliknya. Dijamin, penyanyi yang punya penggemar ribuan itu tak mengerti apa-apa, atau tak mau tahu. Tapi sah.
Apakah ia salah? Anda kecewa kalau saya sepertinya mendukung Agnez Mo: bener. Karena ia – akan berekspresi, ketika belum naik panggung dan sorot kamera yang akan menyebarkan penampilan dirinya ketika disebarkan lewat layar kaca di mana-mana ke pelosok-pelosok negeri. Di mana tujuan utama dari sebuah pertunjukan yang menarik mestilah semenarik-menariknya asesoris yang menempel kepadanya. Termasuk kostum -- konon buatan KTZ. Dan, kostum itu ndak bisa disalahkan. Karena dibuat oleh tangan di balik industry hiburan yang selalu merongrong “Kita bebas” berekspresi.
Di jagad hiburan, makin menarik pernak-pernik yang menempel ke dirinya, makin diperjuangkan. Mau baju plastik tembus pandang, berbahan karet secuil, buah sebiji, kembang setangkai atau bahkan daging yang ditutupkan ke alat vitalnya. Meski, itu kerapnya mengatasnamakan kreativitas yang mesti bebas dari belenggu apa pun. Apalagi kalau hanya kostum tertempel huruf Hijayyah – yang oleh (sebagian) Muslim dianggap sebagai symbol pelecehan kepada agama – yang “sama sekali” tak dimengerti oleh sang artis. Atau ketika ia sadar di kostumnya kali ini rada aneh, ah cuek beibeh. “Aku kan cuma wayang, ada ada dalang di belakangnya.”
Tuhan takkan pernah sedikit pun jadi rendah oleh ulah apalagi hanya Agnez Mo, meminjam bahasa Emha Ainun Nadjib untuk urusan kostum seperti yang dikenakannya kali kemarin-kemarin itu. Karena selama ini, yang sudah-sudah, ia bisa melewatinya dengan bekal pasal “kebebasan kreativitas”. Kenapa orang-orang ribut dan sebagian menghujat? EGP – emang gue pikirin, ucap sang perawan yang kerap berujar persis seperti itu.
Jika menelisik uraian di atas akan tersambung benang-merah: ini atas nama kreativitas yang sudah selazimnya tak perlulah disekat dengan aspal hitam. Karena kalau saja di benak orang-orang sekitar sang artis yang muncul adalah salah kostum, pun itu atas nama sebuah cara. Untuk menarik apa yang dijual diri sang artis dengan berbalut kreativitas. Menarik mata untuk memelototinya dengan syahwat artistik. “Aspal, kan hitam sejak dulu. Dan bisa dari akronim asli tapi palsu”.
Itu yang ditakutkan. Argumentasi mereka atas nama kebebasan dan kreativitas dalam “berkarya” meski sesungguhnya itu – boleh jadi – sebuah ketidaktahuan atau kesengajaan membabi-buta. Dengan tujuan sebuah target, “Aku manggung, maka aku akan menyenangkan penonton.” Dan setelahnya, ia meraup ketenaran sekaligus pundi-pundi uang yang dibawa dalam tidur berikutnya sekaligus mimpi dari seorang super star. Impian ribuan orang yang tak semudah membalikkan telapak tangan, seperti argumentasi Agnez Mo dan orang-orang di belakang layar dari sebuah industri hiburan. Bila perlu, minta MUI untuk mengesahkannya.
Dalam kasus kostum Agnez Mo, MUI, bisa kita kutipkan di sini: “Tidak ada unsur pelecehannya. Itu lumrah saja kalau nggak ada unsur tersebut. Kecuali kalau di dalamnya ada bacaan Al Quran, saya juga tidak setuju. Kata temen yang lihat itu sih hanya tulisan Al Muttahidah, dan artinya kan persatuan,” kata Kholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI pusat.
Salam kreativitas amburadul bagi yang ingin terjun ke dunia simulacra (Jean Baudrillard). Dunia seolah-olah indah menghanyutkan namun sesungguhnya tipuan pandang mata yang dibawa dari barat sono dan dihausi (sekaligus halusinasi) oleh kita yang timur, dan masih gerah oleh ulah para petingginya yang juga bisa menyantap tubuh-tubuh sang artis. Tanpa melewati huruf Arab yang di selangkangan yang memang, bukan pasti soal agama. Ini agama “kreativitas” di dunia hiburan. Titik!***