Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mundurnya Undur-undur

27 Desember 2015   09:22 Diperbarui: 27 Desember 2015   12:40 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaya sindiran Koming dan Pailul-nya Mas Dwi Koen di Kompas Minggu (27/12). (Repro:KOMPAS)

TIAP Minggu (hari) lebih dari satu surat kabar mampir ke rumah. Menjadi bagian penting, tak sekadar hiburan. Meski isi Koran pada hari Minggu tidak sekeras hari-hari biasa (week day). Paling tidak, banyak unsur “hiburan”. Sebab, ada fiksi: cerpen dan puisi serta soal masak-memasak dan keluarga. Di samping komik atau kartun, yang tak pernah abai kusimak dengan cengengesan.

Seperti Panji Koming kreasi komikus-karikaturis Dwi Koendoro (DK) dengan tim pada KOMPAS, Minggu (27/12) pagi ini. Yang meringkas perihal mundur-nya orang-orang “hebat”. Mungkin, yang dimaksud Ketua DPR. Kita simak:

“Dibilang maju padahal mundur …diam-diam eeh …tahu-tahu menjebak,” kata Koming kepada Pailul.

“Kau dengar enggak omonganku barusan? Kamu melihat apa, sih?” sambungnya bertanya kepada Pailul. Ia tak melihat kedatangan “den baguse” dari sisi kiri (frame 6).

“Undur-undur,” jawab Pailul ketika Si penguasa – atau tokoh antagnis pada suatu momen – yang selalu digambarkan angkuh dengan dagu diangkat itu berlalu.

Mundur itu Mesti Teratur

Jeleh kita membahas mundurnya Ketua DPR yang satu ini. Karena ia tidak mundur sejak ditengarai “mencatut nama”. Malah, ia melawan. Dengan mengadukan orang yang menyebut dirinya mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden ke Polisi. “Saya dizalimi!” sebutnya.

 

Gaya mundur, eh ...undur-undur Ketua DPR? (Repro: KOMPAS mINGGU 27/12).

Weleh-weleh.

Ilmu pas dimiliki orang yang berpredikat politikus – ya politikus, karena ia tak jamak – bukan politisi. Meski bisa saja banyak orang yang menjadi politikus beramai-ramai dan disebut politisi dengan kelakuan yang sama dengan ia. Di mana bersarang secara mayoritas di Rumah Rahayat, dan berkelakuan seperti tikus.

Paling tidak, ini berbeda dengan mundurnya Dirjen Pajak, beberapa hari lalu. Atau yang hari Minggu ini di halaman depan (head line) memuat mundurnya Dirjen Perhubungan Darat. Padahal, itu disebabkan sebuah kemacetan di dua-tiga hari lalu, 23-25 Desember. Lha, Dari Kampung Rambutan – melewati JORR – menuju Cikampek bisa menempuh waktu hingga lima jam lebih. Opo tumon? Melebihi kemacetan orang mudik menjelang lebaran. “Sebagai Dirjen Perhubungan Darat, saya bertanggung jawab atas kemacetan itu. Untuk itu, saya menyatakan berhenti sebagai Dirjen Perhubungan Darat,” kata Djoko Sasono dalam konferensi pers, Sabtu (26/12) di Jakarta.

 

Mundurnya Dirjen Perhubungan Darat, tak berbelit-belit. Tapi cukup mengguncang, seperti ilustrasi Tsunami Aceh 11 tahun lalu dalam foto ini? (Repro: Republika Ahad, 27/12).

Jelas, tak berbelit-belit kalimatnya. Ndak seperti politikus (masih bukan politisi) terutama dari Senayan. Atau dalam bahasa Panji Koming: “Dibilang maju padahal mundur …tahu-tahu menjebak.”

Seperti itukah kelakuan undur-undur dari Rumah Rahayat? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun