Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasianival 2015, KutuBuku dan Lompatan ke Depan

17 Desember 2015   06:54 Diperbarui: 17 Desember 2015   12:32 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KutuBuku sudah mengikuti briefing di Kantor Kompasiana, sebelum hajatan Kompasianival 2015 di Gandaria City, 12-13 Desember. Ya, saya sendiri yang menghadirinya, karena Isson Khairul (penggerak KutuBuku) sedang pulang ke Padang, ayahnya meninggal. Persoalan-persoalan teknis untuk menempati booth, dijelaskan oleh Raja (admin Kompasiana) dan prinsip-prinsip tertentu dari Wardah Fajri (Wawa).

Saya yang sudah berulangkali ikut dan bahkan menyelenggarakan acara sejenis, prinsipnya “bisa” melewati persiapan dan hajatan itu. Namun bersamaan itu, sedang menggarap (calon) buku Kompasianer. Tepatnya tulisan-tulisan Taufik Uieks yang ada di Kompasiana sejak beberapa waktu lalu. Jadi, sebuah kesibukan tersendiri. Tajuknya: Mengembara ke Masjid-masjid di Pelosok Dunia.

Maria Margaretha, yang sudah terlibat dalam komunitas “nulis buku”, tahun lalu di Kompasianival 2014 di TMII menyatakan kesediaannya (menjaga booth) sejak berkomunikasi dengannya saat masih di Jambi. Singkatnya, sebuah “kerja” serba cepat dan kemengertian bersama. Ya, dalam menjalin dan merajut literasi di komunitas KutuBuku.

Booth KutuBuku, Jalan Sunyi namun masih ada yang bertandang sebagai ikut menjaga kewarasan (foto: dok KutuBuku)

Jalin Dengan Non Kompasianer

Saya, TS, dan Isson tak ingin KutuBuku asal ikut mejeng di Kompasianival. Lalu, memajang buku-buku Tjitadinata Effendi yang kami rembug beberapa hari sebelumnya, ketika Pak Tjip dan Bu Lina sudah di Jakarta. Dan kompasianer yang lain.

Jadilah, bagaimana bekerja sama dengan pihak di luar kompasiana yang masih erat bersinggungan dengan buku dan penerbitan. Persisnya, ada kebersetujuan antara KutuBuku dengan Seno Gumira Ajidarma dan Mohamad Sobary atas “bantuan” marcomm Mizan, Peter Walandauw. “Ayo, siap Mas!” sahut Peter semangat.

Sabtu (12/12) pagi persiapan booth KutuBuku beres. Dengan serba cepat antarkesepahaman dengan Maria yang pagi-pagi sudah datang. Saat itu, Benny Rhamdani kolega saya berbincang ringan di booth KutuBuku. Bahkan menyinggung tentang buku Mengembara ke Masjid-Masjidnya Taufik. “Saya sudah baca. Menarik. Sayang covernya kenapa nggak yang lain? Nggak itu!” cetusnya, sebagai editor Mizan juga.

Perbincangan singkat, karena persiapan ke Istana atas undangan Presiden yang tak jadi membuka acara itu, lumayan menerbitkan asa. Bahwa karya kompasianer – yang relatif bukan penulis prof – mulai dilirik penerbit mayor. Karena ketika pada suatu kesempatan Kang Pepih Nugraha mampir ke KutuBuku dan saya sambungkan dengan Peter, nyambung (connect). “Tulis, dong Pak TS. Bahwa temen-temen kompasianer tulisannya layak untuk diterbitkan di penerbit mayor,” ujar Pepih Nugraha.

“Ya, kan Rahasia TOP Menulis-nya Much. Khoiri, tulisan-tulisannya di Kompasiana sudah diterbitkan di Elex, KKG,” sahut saya enteng.

Buku keroyokan para kompasianer. Tentang keindonesiaan. (dok: KutuBuku)

 

Perbincangan pun mengalir. “KutuBuku ini salah satu komunitas yang bisa menyambungkan harapan Kompasiana. Menyebarkan gagasan dan sampai menerbitkan buku-buku. Dan anda masih muda, tentu sah ikut dengan temen-temen Kompasianer,” imbuh Kang Pepih kepada Peter.

Jalan Sunyi dan Merawat Keterlupaan

36 Kompasianer Merajut Indonesia adalah buku keroyokan para kompasianer pertama yang terbit (2013) ketika Kompasianival 2013 di West Mall. Hajatan itu, mirip dengan Kompasinival 2015, sama-sama di tempat yang berbaur dengan public. Bedanya, di Kompasianival 2015 ini komunitas di booth-booth di luar (ruang terbuka) dengan tenda-tenda putih. Bagi KutuBuku bukan masalah benar. Tersebab, inilah jalinan dan wadah interaksi antarkompasianer dalam satu momen. Sebab, sejak awal KutuBuku sadar, ini adalah jalan sunyi. Untuk tetap menjaga dan merawat dari lupa. Bahwa sesungguhnya buku, bisa menjadi jalinan tentang “sebuah gagasan” untuk generasi masa depan. Dan kompasianer – yang bermula sebagian dari bukan penulis sebagai profesi – akan ikut di dalamnya. Apalagi, jika kemudian membukukan gagasan dan ingatan-ingatan untuk diwariskan.

Isson Khairul (Penjaga gawang KutuBuku), Seno Gumira Ajidarma, Iskandar Zulkarnain, Taufik Uieks, dan Tjiptadinata Effendi di panggung Komunitas Kompasianival 2015. (foto: dok KutuBuku)

 

Indonesia Kita, Satu!, Refleksi 70 Tahun Indonesia, Pancasila Rumah Kita Bersama, 25 Kompasianer Wanita Merawat Indonesia adalah judul-judul buku yang ditulis oleh para kompasianer. Dan yang ikut “gila” mengambil jalan sunyi di KutuBuku. Karena perdebatan pada era digital kini, orang lebih senang yang instant. Yang biasanya masuk ke “hura-hura” dalam sebuah momen yang tampak asyik menghanyutkan. Bisa menjadi terkenal dan merasa hebat, apalagi kalau banyak yang menguntitnya. Sedangkan KutuBuku, jelas jalan sunyi. Di mana pelbagi data sudah menunjukkan. Bahwa dunia literasi masih diemohi oleh sebagian besar warga negeri ini. Satu judul buku dibaca oleh sejuta orang Indonesia, laporan UNESCO, 2013.

Lalu muncul buku dari kompasianer semisal: 38 WIB, Mandeh, Aku Pulang, Perjalanan Hati, Beranda Rasa, Penjaga Rasa, Sehangat Matahari Pagi, Guru Plus, Cara Narsis Bisa Nulis, Catatan Kecil Perjalanan PNPM, Jabal Rahmah, Rendezvous Cinta nan Abadi, Seorang Balita di Tengah Persolakan PRRI. Ya, ditulis oleh Gaganawati Stegmann, Iskandar Zulkarnain, Tjiptadinata Efendi, Roselina Tjiptadinata, Rifki Feriandi, Maria Margaretha, Taufik Uieks, Dian Kelana, Titin Sulistiawati. Semua kompasianer. Jelas menunjukkan tajinya.

Sah para kompasianer itu sebagai penulis, mengutip kata-kata Seno Gumira Ajidarma yang menjadi tamu KutuBuku di Kompasinival 2015.

Persoalannya, bagaimana merawat keberlanjutan dan menjaga kewarasan para kompasianer dalam tulis-menulis – seperti inti dari wadah blog atau media warga bernama Kompasiana ini. Ini sebuah tawaran dari KutuBuku, yang masih di Jalan Sunyi. Walau saya meyakini, tulisan-tulisan positif, akan menggeret orang yang membaca ke arah kebaikan pula. Seperti kutipan di bawah ini:

Dr. Maesaru Emoto dari Yokohama Municipal University Jepang, dalam sidang terbuka di PBB (26 Mei 2005) sempat mengguncang dunia. Bahwa air yang dibacakan atau disentuh dengan perasaan akan bereaksi secara signifikan. Di mana, menurut penelitiannya, air yang dimasukkan ke dalam lemari es bersuhu -5oC, jika air diimbuhi pesan, ungkapan, gambar, musik, foto dan tulisan akan berubah tampil berbagai macam Kristal yang menakjubkan.        

Tulisan yang positif (baca: inspiratif) , masak akan menghasilkan sebuah kenihilan? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun