KOMPASIANIVAL 2015 usai, ditutup, Minggu (13/12). Hajatan di Gandaria City (Gancit), mirip-mirip dengan Kompasianival 2013 di West Mall. Berbaur dengan masyarakat luas, public. Berbeda dengan Kompasianival 2014 di Sasono Budoyo TMII. Dengan tempat “tertutup” itu, nyaris sempurna ini hajatan Kompasianival untuk kompasianer dan komunitas.
Pada Kompasianival 2015 dua hari lalu itu, terbagi di panggung utama (main stage) dan gelaran di luar dengan booth-booth berterpal putih untuk komunitas. Dan KutuBuku sebagai salah satu penghuninya ada di barisan sisi kanan. Sebagai komunitas Jalan Sunyi, sudah disadari sejak awal. Hanya mengandalkan Kompasianer – dan lebih-lebih yang sudah kenal di Kompasiana (saat) online maupun yang kerap kopdar yang akan berkunjung.
Taufik Uieks di booth KutuBuku (foto: dok KutuBuku)
Dengan “terminology” buku fisik – kan ada kutunya, sedangkan jika di dunia digital belum tertemukan kosa kata “kutu”, hehehe. Buku, seperti dilansir UNESCO, badan budaya dunia menyebut soal bukiu itu masih diemohi warga negeri ini. Hanya satu judul buku untuk dibaca oleh seribu orang. Benny Rhamdani, kompasianer plus editor penerbit besar menyebut: penginnya (justru) jadi penulis semua. Bukan membaca dibanyakin. Sah. Seperti temen-temen di Kompasianer.
Nah, di kompasianival atau hajatan kompasiana, jelas ini jenis (genre, boleh) yang ndak seksi. Mungkin seperti yang kerap penulis gunakan: jalan sunyi. Sehingga, dari daftar tamu yang kami buka, hanya tercatat 43 orang – yang datang tentu lebih, karena ndak mencatatkan. Asyik lupa, dan malu-malu atau enggan menjadi terkenal, hehehe.
Kalau ndak banyak yang nyatroni, apakah karena buku (karya para kompasianer) itu mahal? Ndaklah. Kan hanya sepuluh meter dari booth kami, berderet resto yang satu gelas minumannya bisa lebih mahal dari buku di KutuBuku. Ini masalah selera (membaca) saja. Artinya lagi, bisa dunia buku itu mahal. Dan persisnya diemohi oleh mereka yang tidak masuk “Jalan Sunyi”. Atawa yang ndak kenal kompasiana. Jadi, ada garis pembatas.
KutuBuku tidak putus asa. Sama sekali tidak! Karena sejak awal sebagai sebuah pilihan. Agar menebarkan literasi dan menyangkut perihal tulis-menulis, terlebih di kompasiana yang menitikberatkan di soal ini. Maka ada cara, satu di antaranya mengundang penulis “beneran” alias profesional: Seno Gumira Ajidarma dan Mohamad Sobary.
Seno Gumira Ajidarma, sastrawan dan wartawan itu ngobrol asyik dengan penulis, TS. Termasuk ia rada kaget kalau di kompasiana sudah tergabung 300 ribu kompasianer. “Wah, bisa melebih tiras KOMPAS, dong!” hehehe.
Seno bahkan didapuk ke panggung komunitas ketika tiga Kompasianer: Tjiptadinata Effendi, Iskandar Zulkarnain dan Taufik Uieks yang baru menerbitkan buku di KutuBuku (Sehangat Matahari Pagi, Mandeh, Aku Pulang dan Mengembara ke Masjid-masjid di Pelosok Dunia) ngomong. “Ya, kan sudah dijadikan buku. Tinggal bagaimana memasarkan. Bisa saja buku-buku ini akan best seller!” katanya menyemangati.
Menulis itu Karena Marah
Ada yang menarik dengan Kang Sedjo alias Mohamad Sobary. Temen deket (alm) Gus Dur ini nJawani betul, termasuk dialeknya. Ia, mantan Kepala LBKN Antara itu selalu berapi-api kalau soal maling-maling di negeri ini. Negeri yang disebutnya kalaubalau dengan lingkungannya yang rusak dijarah maling atawa pencopet seperti bukunya: Demokrasi Ala Tukang Copet. “O, saya harus nulis. Nulis itu kan tanda kemarahan saya. Karena di negeri ini masih banyak copetnya!” serunya saat berbincang gayeng dengan saya dan Isson serta orang Mizan.
Ternyata itu, alasannya ia menulis dan mengambil jalan sunyi. Sebab, di sambungan lain, Kang Sedjo kelahiran Yogya itu bercerita: “Saya nolak dikasih hadiah oleh institusi seratus juta. Tapi kalau satu miliar, mau hahaha!”
Namun ada latar belakangnya, yakni diterima secara terbuka dan uang itu digunakannya untuk mendirikan yayasan untuk rakyat. Tidak untuk dirinya, satu rupiah pun. “Itu sebab, saya setuju dengan Robinhood.” Alasannya. “Tapi ya nulis sajalah. Untuk tetap menjaga kewarasan. Meskipun kadang-kadang saya emosian juga. Hahaha.”
Nah!
Jalan sunyi perihal perbukuan, memang masih panjang. Bahkan mungkin akan menjadi kian sunyi dan pelan-pelan sunyi betul. Ini era digital. Barangkali, jika menulis di Kompasiana, dan menulis secara baik menjadi bukan sebuah utopia. Untuk menjaga kewarasan.
****
- TS ndak mau rebut-ribut di hari pertama Kompasianival yang mengundang kompasianer ke Istana, makan siang. Dan KutuBuku tetap mengambil jalan sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H