Menulis itu Karena Marah
Ada yang menarik dengan Kang Sedjo alias Mohamad Sobary. Temen deket (alm) Gus Dur ini nJawani betul, termasuk dialeknya. Ia, mantan Kepala LBKN Antara itu selalu berapi-api kalau soal maling-maling di negeri ini. Negeri yang disebutnya kalaubalau dengan lingkungannya yang rusak dijarah maling atawa pencopet seperti bukunya: Demokrasi Ala Tukang Copet. “O, saya harus nulis. Nulis itu kan tanda kemarahan saya. Karena di negeri ini masih banyak copetnya!” serunya saat berbincang gayeng dengan saya dan Isson serta orang Mizan.
Ternyata itu, alasannya ia menulis dan mengambil jalan sunyi. Sebab, di sambungan lain, Kang Sedjo kelahiran Yogya itu bercerita: “Saya nolak dikasih hadiah oleh institusi seratus juta. Tapi kalau satu miliar, mau hahaha!”
Namun ada latar belakangnya, yakni diterima secara terbuka dan uang itu digunakannya untuk mendirikan yayasan untuk rakyat. Tidak untuk dirinya, satu rupiah pun. “Itu sebab, saya setuju dengan Robinhood.” Alasannya. “Tapi ya nulis sajalah. Untuk tetap menjaga kewarasan. Meskipun kadang-kadang saya emosian juga. Hahaha.”
Nah!
Jalan sunyi perihal perbukuan, memang masih panjang. Bahkan mungkin akan menjadi kian sunyi dan pelan-pelan sunyi betul. Ini era digital. Barangkali, jika menulis di Kompasiana, dan menulis secara baik menjadi bukan sebuah utopia. Untuk menjaga kewarasan.
****
- TS ndak mau rebut-ribut di hari pertama Kompasianival yang mengundang kompasianer ke Istana, makan siang. Dan KutuBuku tetap mengambil jalan sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H