Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasianival 2015, Istana dan KutuBuku

14 Desember 2015   08:25 Diperbarui: 14 Desember 2015   09:24 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika bis mandeg, segera paratemen kompasianer ini jalan. Dan …selfi. Mungkin itu yang penting. Karena latar belakangnya ada bangunan papak yang dihasi Garuda. Dalam bahasa Uda Thamrin Dahlan, sebagai alibi, hehehe.

Lalu ketika ada penjelasan dari staf, bahwa camera, HP dan yang “bisa membahayakan” mesti parkir, sebuah dengungan pun mencuat. “Yaaah …nggak bisa foto bareng Pak Jokowi, dong!” Sebagai jawaban, bahwa silakan HP, camera dimasukkan ke dalam tas. Padahal, memang aturannya gitu. Nanti ada fotografer Rumah tangga Presiden. Alias akan dibagi lewat Kompasiana.

Berjalan sebentar, setelah diperiksa, kami melenggang. Biasa, kekaguman pun tak bisa disembunyikan. “Nggak nyangka bisa sampai menginjakkan kaki ke sini!” desis beberapa orang yang berada di samping saya. Sementara saya sedikit menjelaskan apa dan di mana, serta aturan yang ada di lingkungan itu.

Meja bundar dengan taplak bersih pun segera terisi oleh masing-masing kompasianer, rata-rata enam orang. Dan temen-temen seperti pemain teater, blocking. Mengambil posisi. “Saya di sini, ah. Di belakang Bung Karno!” celetuk Mbak Muthiah. Katanya Pak Karno belum tentu PDIP, yang foto Megawati Soekarnoputri ada di seberangnya. Hahaha.

“Nggak usaha serius. Kita makan dulu!” ketika Presiden Jokowi, ketika berdiri dan ngomong di depan mike (Mike Reyssent nggak ada ya?).

Lho!

Buku Seno di hari pertama Kompasianival (dok:TS)

Bukan sambutan, atau apalah basa-basi. Satu kalimat pendek, dan sebagai pembuka nyambut para kompasianer. Alamak. Saya teringat, memang pemimpin yang satu ini ndak suka pidato-pidatoan atawa formal-formalan. Ndak seperti presiden sebelumnya, yang penginnya njaga betul: saya ini presiden. Yo wislah.

Makan pun berlangsung. Saya yang ndak muda lagi (hehehe) milih yang ndak deket-deket dengan kolesterol. Beda dengan Pak Tjiptadinata Effendi (semeja dengan RI-1 bersama kompasianer Christie Damayanti) yang lebih sepuh tapi masih enak sekali makan rendang kalau saya ditraktir di RM Sari Minang yang hanya seratus meter dari Istana dan hanya dibatasi oleh Kali Ciliwung yang selalu keruh, karena dari Padangkah? Aha!

“Saya sebenarnya ragu ikut diundang kemari. Karena saya penulis buku Prabowo, Presidenku!” kata Uda TD ketika dipilih Isjet untuk mengudar rasa alias berunek-unek antara warga dengan presidennya.

“Cilaka!” seru tertahan saya, kepada Bang Ben B Nur, Gapey Sandy, Muthiah yang satu meja. Namun dengan bahasa tubuh yang meyakinkan, Uda yang pernah mengundang saya ngomong soal tulis-menulis di masjidnya, menyelesaikan kata-kata unek-uneknya dengan baik. Dan kemudian disambut Presiden dengan entengan seperti biasa. Termasuk mencermati perihal hater dan lovers-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun