Kromodongso sendirian. Sendirian di gardu yang ikut diguyur hujan, membuatnya seperti orang linglung. Celingak-celinguk sebagaimana mestinya orang bingung. Berkali-kali menyeruput minuman yang dibawa dari rumah.
“Ke mana perginya teletabis, ya?” desisnya, berkali-kali. Ia menyebut Asep, dan gengnya itu yang tak menampakkan batang hidung. Sebab batang rumput sedang terendam di pinggiran RW sebelah.
Kromodongso mengernyitkan kening. Demi melihat bayang-bayang bertutup kepala jalan berjingkat-jingkat. Namun justru cara jalannya itu, membuatnya tahu siapa gerangan bayangan itu. Lelaki bertubuh kerempeng dan suka jalan-jalan tanpa pengawalan ketat sebagai seorang Lurah. Blusukan.
“Pak Luuur …!”
Telanjur sudah Kromodongso mbengok! Memanggil Pak Lurah, kalau dalam ukuran tidak hujan dan sepi bisa disebut kurang sopan. Ya, ndak etislah. Masak kepada pimpinan ndak hormat gitu.
Eh, bayangan itu justru berjingkat kea rah gardu. Mendatangi Kromodongso.
“Numpaang …!” katanya sambil menunduk sebentar.
Ajaib! Seorang Lurah yang dipilih secara demokratis itu malah yang merasa “numpang” dalam deras hujan kali ini. Hujan bulan Desember yang belum ber-ber bener alias belum hujan terus-menerus, ngruicik!
“Ah! Pak Lurah! Marii …mariiii!” Kromodongso mempersilakan lelaki kerempeng itu duduk di alas gardu yang masih kering tak kecipratan air hujan.
Dan …dan terjadilah perbincangan gayeng. Mungkin karena mengerti sama-sama budaya Jawa. Namun ketika Kromodongso menyinggung perihal “Pakde Kar Minta Cewek”, Pak Lurah berulangkali menahan geram.
“Itu sudah keterlaluan ….k.e.t.e.r.l.a.l.u.a.n!”