Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

24 Kompasianer Menulis "Sumpah Pemuda"

29 Oktober 2015   09:40 Diperbarui: 29 Oktober 2015   09:57 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara bedah buku Indonesia Kita, Satu! di Kompasiana (foto: dok TS)

 

LAGU Indonesia Raya sinyal kuat sebuah keinginan bangsa “Hindia Belanda” untuk merdeka. Menjadi Indonesia yang sesungguhnya, berdaulat di tanah sendiri. “Bangunlah jiwanya/ bangunlah badannya/ untuk Indonesia Raya” amat jelas sebagai sebuah lagu sumbang bagi bangsa non-pribumi yang datang ke Nusantara ini saat itu, Ibu Pertiwi kelak.

Sesungguhnya sejak Boedi Oetomo, 1908, menjadi pembongkar kemampatan itu. Namun Sumpah Pemuda, 1928,  lebih kukuh dan niat kuat. Semestinyalah bersatu dari tujuh belas ribu pulau lebih, suku-suku yang beraneka ragam dan ratusan bahasa yang berserak. Jika kemudian dipilih Bahasa Melayu sebagai cikal-bakal Bahasa Indonesia untuk persatuan, bukan tanpa alasan. Sebagai bahasa yang tidak tersekat oleh jenjang bangsa bersuku-suku dan berkulit tidak sama.

Bukan tanpa alasan bila himpunan tulisan dengan tajuk Indonesia Kita, Satu! – karena pada era kini masih dibutuhkan penyemangat. Ah, Pulau Penyengat pula, tersebutkan sebagai pulau kecil awalnya Bahasa Melayu (baca: Bahasa Indonesia) sebagai pemersatu, di mana lahir pujangga Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam dua belasnya. Pulau yang sepelemparan batu dari Singapore (Tumasik) yang punya jejak literasi kuat.

Ini benang merah para Kompasianer dalam menuliskan tentang keindonesiaan sebelumnya. Sehingga Isson Khairul berani menyebut: Indonesia sudah merdeka 17 tahun sebelum proklamasi negeri ini dikumandangkan di Pegangsaan Timur 56 – yang notabene bangunan rumahnya sudah lenyap.  

Ragam sudut pandang ini, diamati secara menarik oleh Iskandar Zulkarnain. Bahwa justru di Timur, Papua, orang-orang lebih berbahasa Indonesia. Bandingkan dengan orang di Pulau Jawa pada umumnya – ini seperti hipotesa, bahwa memang tepat yang dipilih Bahasa Melayu saja. Dan ini diamini oleh Iswekke, yang kebetulan pengajar sebuah perguruan tinggi di Papua Barat.

Bagi Thamrin Dahlan, penyengatan itu perlu. Bila perlu, ada semacam Sumpah baru. Agar negeri ini lebih berdaulat oleh rakyatnya. Karena Rushan Novaly menengarai dalam Pilpres kemarin di era medsos yang demikian kuat peperangan terjadi. Meski Rifki dengan bahasa yang lebih enteng menyebut: semestinya Indonesia merah darahku/ putih tulangku, bersatu …dalam semangatmu, dalam Kebyar-kebyar-nya Gombloh.    

Bahasa sebagai alat, diterangjelaskan oleh Ketua Pusat Bahasa Unesa, Much. Khoiri.  Bahwa bahasa perlu dijaga. Meski oleh Bain Saptaman sempat tercengang karena di tanah kelahirannya ( Palembang) tak ada pelajaran bahasa daerah. Ia baru mengerti setelah menjadi warga di Jawa. Karena bahasa Jawa yang (terutama) melingkupi wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogjakarta berbahasa satu: Jawa. Hanya dibedakan oleh logat dan dialek.

Sudah saatnya apa yang dialami oleh Maria G. Soemitro ketika masa kanak-kanak tak lagi terjadi. Kini era mengelola lingkungan di sekitarnya. Meski berbeda dengan Tjiptadinata Effendi yang ada di tengah keluarga gado-gado tapi tetap harmonis. Indonesia, Satulah dalam Cinta, tandas Mauliah Mulkin. Untuk itu dibutuhkan amatan pengalaman Wahyu Sapta sebagai orang berlatar belakang sastra. Bukankah sastra itu penghalus budi pekerti yang kian menipis tergerus zaman yang abadnya berlari?

Saya pernah bertemu dengan salah satu pelaku penting Sumpah Pemuda, Mister Soenario, di tahun 80-an: ingin mengajak untuk tetap berpenyengat atas kendornya persatuan. Juga kebetulan pernah menginjakkan kaki di Pulau Penyengat, merasa segaris lurus dengan keprihatinan. Bila pus(t)aka atau literasi yang ada berpindah dan pemeliharaan yang minim. Jelas bukan spelajaran baik bagi generasi pemuda. Ini bukan sebuah sikap bangsa yang perlu disentil oleh proklamator: Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.

Para kompasianer, notabene generasi yang melewati era teknologi cepat dan sekaligus penghuni desa global, menjadi ikut dalam uluran tangan. Walau terdengar sayup-sayup. Ini jalan sunyi sebagai munsyi? Tidak! Ini satu bagian penting, sekecil apa pun. Untuk sebuah kesatuan bernama: Indonesia. Kini dan nanti. ***

 

Judul                    : Indonesia Kita, Satu!

Penulis                 : 24 Kompasianer, Iskandar Zulkarnain, dkk   

Penyunting           : Thamrin Sonata

Penerbit               : Peniti Media

Tebal                   : 182 halaman

Tahun                  : Oktober, 2015

 

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun