Saya mengakui. Jika Wisnu Dewanto inilah kamus berjalan yang mewakili tempatnya bergabung (persisnya bekerja sejak perencanaan hingga kemudian menemani Kompasianer) dalam proyek yang menyalip waktu yang ditentukan alias diresmikan lebih cepat dan didukung Pepih Nugraha di awal tulisan ini. Ia menjawab-meladeni dengan suara yang terjaga, ketika satu bis dengan saya. “Anak saya masih memanggil papi, bukan Om kepada saya,” sahut Wisnu dengan joke yang dalem, karena menjawab pertanyaan konyol pemegang mic perihal seolah-olah ia meninggalkan keluarga dan bekerja mati-matian di Tol Cipali. Tanpa reserve.
Saya yang persis di sebelah kanan bangku Pepih Nugraha melirik, dan mendapatkan lelaki itu terkantuk-kantuk. Mungkin takzim dengan jawaban Wisnu tadi, sedangkan saya kembali menyimak Jalaluddin Rumi: … Di dunia yang seperti pasar ini/ orang-orang duduk di bangku-bangku menanti bayaran.
Wisnu terus menjawab pertanyaan apa pun yang diajukan Kompasianer yang ada di Bis Satu. Perihal kenapa di sisi jalan tak ditanami tanaman sehingga tak gersang. Lampu tak terpasang, sesungguhnya lampu terpasang (hanya) di tempat-tempat strategis di jalan tol luar-kota. Berapa kecepatan yang dimungkinkan pengguna jalan tol dengan perilakunya yang aneka-ragam, mestinya bisa 120km/jam walau di rambu yang terpasang menyuratkan: cukuplah 100km/jam agar tak celaka alias aman. “Itu dimungkinkan.” Termasuk pertanyaan nakal khas blogger.
Sabar
Di KM 161, kami berhenti. Untuk memengok Kali Cimanuk yang rentangnya lumayan panjang untuk ukuran sebuah jembatan, di kisaran 100 meter. Jembatan terpanjang yang dilintasi jal tol seperti ingin menjawab: inilah sebuah upaya untuk kemudahan bagi mereka yang menggunakan jalan-jembatan ini. Lebih-lebih ketika mulai terasa orang-orang mudik, ketika Ramadan sudah beringsut menuju Lebaran. Bisa disimak dengan kendaraan yang disesaki penumpang – lengkap dengan barang bawaan untuk sanak keluarga di kampung. Atap mobil pribadi yang menumpuk sebagai bagasi, pertandanya.
“Kami pulang kampung lebih awal menghindari kemacetan. Dan ndak nyangka lewat Tol Cipali ini jadi lebih cepet, juga nyaman,” tutur Bu Mariyatun asal Bumiayu, Tegal, yang sedang istirahat di rest area Km 86 (Sta 105 + 850, tipe B) yang masih minim fasilitas dan ditambah terik siang itu.
Itu bisa dimakmlumi, dan dapat dirasakan arti pulang kampung di momen untuk Lebaran. Karena di Pantura – sisi utara Tol Cipali – menjadi sebuah medan perjuangan hingga lepas dan masuk ke Cirebon. Di mana mesti melalui pasar-pasar tumpah siang hari. Kalau tidak dibuang ke jalur selatan – sisi kanan Tol Cipali dari arah Jakarta – yang relatif sempit. Jika ada Tol Cipali berkurang sampai 40 km atau waktu tempuh bisa dikurangi hingga dua jam, maka ini sebuah oase juga. Dan filosofi mudik, hakikatnya kembali ke asal bagi orang udik yang merantau (urban) ke Jakarta seperti mendapatkan jawaban. Mengingat jalan tol, filosofinya adalah jalan bebas hambatan, bukan untuk mencari dan menjadikan area cepat-cepatan atawa kebut-kebutan.
“Kami menghormati kearifan lokal,” ungkap Wisnu lagi, ketika rombongan kami berhenti dan menjumpai seonggok batu di sisi kanan atau seberang lajur kiri/ utara. Yang dimaksud adalah tak menghilangkan batu besar yang telah diamankan di jalan bebas hambatan itu. Maka, bukan mitos tentang batu besar benar. Yang kemudian berkembang ketika ada faktor-faktor “kecelakaan” yang terjadi. Sebab, dalam hal teknis, sudah melewati kajian mendalam. “Jalan tol ini sudah diuji dan layak operasi. Kalau masalah geometris, lebih banyak di jalan Tol Cipularang,” jelas Menteri PU, Basuki Hadimuljono.