BUKAN soal Paris van Java atau Kota Kembang saja sebutannya, tentu. Tersebab Bandung memang mempercantik diri habis-habisan, untuk urusan KAA ke-60 di bawah komando Walikota, Ridwan Kamil. Walau dalam bilangan waktu bak kisah terjadinya Tangkuban Perahu. Di mana semilir alunan angklung dengan dua puluh ribu warganya menggerakkan alat musik khas bambu: Manuk Dadali.
Kemeriahan berada di tempat semestinya, setelah Jakarta menutup acara Konferensi Asia Afrika (KAA) keenam puluh, ke Bandung. Warga Bumi Parahyangan menggenapi Kota yang lahir saat Tuhan tersenyum – kata MAW. Brouwer, Romo penulis kolom KOMPAS Minggu – di sudut dinding dengan memainkan angklung di Stadion Siliwangi. “Bukan soal meraih Guinnes of Book Record. Tapi kami seperti dipersatukan untuk melakukan yang terbaik dalam menyambut tamu-tamu negara,” ungkap Adang lelaki berbatik pegawai sebuah Bank, pagi Kamis (23/4).
Klop dengan Wali kotanya yang berlatar belakang arsitektur. Lelaki yang kerap berikat kepala khas urang Sunda biru ini. Ia menata dan sekaligus menatap Bandung untuk lebih meninggikan kebahagiaan warganya. Dengan cara yang sederhana, melibatkan relawan sebanyak 14.000 orang, termasuk warga Bogor, Cianjur, Garut, Sumedang, Bekasi dan sekitarnya, “Teori psikologi, tingkat kebahagiaan warga, kalau mereka menjadi volunteer,” ungkapnya, sungguh-sungguh.
Jadilah. Inilah KAA sesungguhnya Indonesia Travel yang mengimbas kepada warga Bandung khususnya yang tahun 1955 dipilih dalam perhelatan besar dengan pertimbangan ada Hotel Savoy Homann untuk acara “Jalan Bersama ke Gedung Merdeka”, bukan Jakarta tempat negeri ini dimerdekakan. Tahun 1955 ada di tengahnya, sepuluh tahun sejak kemerdekaan 1945, masa romantisme dan eforia. Dan sepuluh tahun setelah itu ada kegundahan karena politik dengan ujungnya kemuraman di tahun 1965 apa yang disebut Gerakan 30 September.
Jika pada peringatan KAA 60 tahun ada kemeriahan, ada kegairahan dan sekaligus ada kebersamaan itu mimpi sebagai kota yang ingin menampung kebahagiaan warganya. Dengan bergandengan bersama seorang arsitek Kang Emil, Ridwan Kamil. Adakah teori yang lebih canggih? Atau tangan yang lebih hangat menyambutnya? Rasanya, tiap warga bisa mengekspresikannya, “Salut Kang Emil!” seru seorang ibu warga Bandung yang sengaja melongok sebelum perhelatan di sekitar Jalan Asia Afrika, Bandung yang berisi wajah-wajah pemimpin dunia 60 tahun lalu dengan pop art sentuhan tangan seniman Wedha nan ceria.
Untuk membuktikan bahwa warga bahagia, tak sulit. Yakni dengan menyusuri jalan-jalan kenangan yang pernah dilakukan oleh Bung Karno, Jawaharlal Nehru, Kamal Abdul Nasser, Zou Enlai, Norodom Sihanouk, Sintaro Abe dan tokoh Asia-Afrika tahun 1955. Menapaktilasi sekitar Museum AA, Gedung Merdeka, dan Hotel Savoy Homann sungguh menajubkan. Kita seperti diwarisi “keceriaan” dan menyambut lebih baik masa depan, termasuk di sekitar KAA ke-60 ini. Di perempatan Jalan Asia-Afrika Bandung, kami melihat sepasang gambar Bung Karno dan Nelson Mandela, simbol benua Asia dan Afrika. Plus nama jalan di kerimbunan daun.
Minggu siang itu, sepanjang jalan Asia Afrika ramai dan berjubel. Jika semalam, Sabtu (25/4) tak ada kendaraan bermotor melintas – karena untuk carnival night – kali ini lebih uyel-uyelan. Juga tak hanya oleh warga Bandung, bisa dilihat dari nomor polisi kendaraan yang beringsut. Namun lebih banyak yang berjalan kaki dengan irama lambat, santai. Apalagi mereka selalu menggunakan kesempatan untuk berfoto-ria, selfie dan mengabadikan bangunan bersejarah. Nyaris di sepanjang jalan kurang dari satu kilometer itu berbangunan art deco mereka merayakan kebahagiaan: berfoto dan belajar sejarah Bandung sekaligus di Indonesia Travel. “Ini kesempatan melihat langsung keramaian setelah KAA keenampuluh. Ini ndak mendadak, kami sudah merencanakannya,” ungkap Tri Sumarni dari Tegal bersama keluarga.
Bola-bola batu atau beton, yang diberi nama Negara peserta Konperensi Asia-Afrika ada di tiap jengkal Jalan Asia-Afrika. Sebanyak jumlah peserta Konperensi Negara-negara di dua benua itu. Juga ada bangku panjang yang dipasang di beberapa titik di trotoar. Meski, sebagian rusak dan terpaksa dipasangi peringatan, seperti di gambar ini:
Bangku rusak, dan diberitakan Radio.