Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Merekatkan Budaya: Makan Bersama, Berkesenian Bersama di TMII

31 Maret 2015   12:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anjungan Sumatera Barat, favorit pengunjung. Selfi pun menjadi kemestian.

MASUKLAH dari Pintu Utama TMII, kalau bisa. Dari sini akan terlihat simbol Indonesia dengan nama Nitra (Anjani Putra), tokoh wayang Hanoman. Meski dari Pintu Dua, sisi utara, jalan berkelok akan menemukan kehidupan sebagian pinggir Jakarta. Dan bila lewat Pintu Tiga, sisi selatan, acap digunakan untuk keluar setelah kunjungan, segera masuk jalan tol peradaban modern.

Di Taman Mini akan segera menemukan corak dari mana pun wilayah Ibu Pertiwi bila berkunjung ke tempat yang luasnya 150 hektar atau 1,5 kilometer persegi koordinat 6 o 18’6.8 LS, 106 o 53’47.2”BT. Walau bila dikunjungi dalam sehari, kurang kiranya. Tersebab Miniatur Indonesia yang berada di Cipayung Jakarta Timur ini kini memiliki tidak lagi 27 provinsi. Namun ada 33 provinsi. Ragam budaya akan ditemukan di sini.

Kesenian Murah, Mahal Nilai

“Mereka awalnya mendapat tugas dari sekolah untuk berlatih. Namun setelah ikut latihan kesenian di sini, mereka menemukan keasyikan tersendiri,” ungkap Mas Triyono guru latih tari dari Anjungan NTB.

14277804931708815583
14277804931708815583

Sore itu saya terpengaruh musik rancak yang cenderung Bali nian. Betapa tidak, dominasi kendang, kenong, gender, gong dan suara dari mulut yang mengiringinya. Khas kesenian Pulau Dewata. Padahal, bangunan yang ada di pintu masuk dari sisi selatan itu terongok rumah-rumah Sasak khas “Orang Lombok”. Setelah didekati, diikuti dan diresapi pun tak terelakkan.

14277805671721743178
14277805671721743178

14277806251259377590
14277806251259377590

Latihan Tari Gandrung di Anjungan NTB.

Tari yang dibawakan oleh remaja berusia belasan, paling tinggi dua puluhan awal, dan mahasiswa itu betul Tari “milik” NTB (Nusa Tenggara Barat), baik dari (suku) Sumbawa, Bima maupun Lombok. Walau itu sebagian terpengaruh Bali seperti dalam Tari Gandrung dalam latihan sore itu. Ini seperti penjelasan guru tari yang ternyata orang Pemalang, Jawa Tengah. Waduh, keseniannya “Bali”, dan milik NTB sedangkan gurunya orang Jawa. Jadi campur-aduk ya? Benar. Inilah yang menarik ketika kemudian mendata. Bahwa 42 orang anggota Grup Sanggar Bumi Gora Anjungan NTB itu semuanya warga sekitar Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Tak ada orang asli Lombok, misalnya. Para pemain alat musik rata-rata anak laki-laki, sedangkan penarinya mayoritas wanita.

Hanya dengan sepuluh ribu rupiah sebulan sebagai iuran, mereka berlatih. Murah banget, kan? 42 orang remaja itu bagai meneruskan salah satu budaya negeri dewek. Bisa menari, bisa tampil di depan banyak orang – seperti sehari kemudian dari yang saya ikuti Sabtu sore itu – untuk pentas di Anjungan NTB serta sesekali bisa terbang ke Lombok dan sekitarnya, di mana kesenian itu berasal. Tampil di sana. Dari sini terjadi akulturasi budaya. Yang dari Jakarta dan sekitarnya ke daerah-daerah.

1427780738356650994
1427780738356650994

Formulir menjadi anggota kesenian di Anjungan NTB. Cukup Rp. 10, 000, 00.

Kesenian, sesungguhnya tanpa sekat. Justru perekat. Di mana para remaja di Kelompok Kesenian NTB itu menikmati betul gerak, lenggak-lenggok dan tembang bersama yang diikuti oleh remaja sebaya, di mana awalnya tak saling mengenal. Namun menjadi satu dalam harmoni seni dari Anjungan Taman Mini. Dan mereka tak lagi mempersoalkan “tugas” dari sekolah. Karena hasratnya kian menggumpal. Mereka merasakan ada aliran darah seni untuk bersatu. Ini seperti yang dirasakan dara yang saat latihan sore itu berjilbab. Tanpa risi.

Anjungan NTB hanya satu contoh. Karena tiap akhir pekan, Sabtu-Minggu, para remaja sekitar Jakarta ikut berlatih  kesenian dari Anjungan yang ada seperti Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali, Dayak,  dan Anjungan lain yang –  mesti diakui adanya yang suram-suram, tak moncer. Mereka menjadi hanyut. Menjalani bagian masa-masa usia untuk mengenal seni-budaya bangsa sendiri. Mereka disatukan tanpa melalui teori apa pun. Cukup dengan belajar secara sungguh-sungguh sambil santai menikmati Negeri Mini dari sebuah taman.

1427780846164425136
1427780846164425136

Berlatih kesenian, dan berkomunikasi. Perekat antarremaja Metropolitan.

Tiap anjungan di TMII sesungguhnya tugas dari Pemerintah Daerah. Yang tak hanya mewujudkan diri dengan bangunan arsitektur khas daerahnya. Lalu merawat keberlangsungan, bahwa daerah itu (masih) ada. Menjadi tak ada (untuk Anjungan Timor-Timur yang sudah lepas dari NKRI menjadi Timor Leste, 2002) itu soal “politik”. Sedangkan merawat Anjungan dengan satu di antaranya melestarikan kesenian, sebuah upaya dari gempuran budaya di era Teknologi Informasi yang kian membuncah. Dan yang mencengangkan diikuti oleh remaja-remaja ibukota Jakarta dan sekitarnya, notabene generasi kota dalam menekuni budaya “jadul” dan boleh jadi kurang popular.

Area yang digagas Ibu Tien Soeharto sejak 13 Maret 1970 ini jelas bukan sebuah utopia. Setelah diresmikan Presiden Soeharto pada 20 April 1975, menjadi-jadi. Namun bukan sebagai sebuah tempat hiburan semata (an sich) sebagaimana lazimnya tempat bagi orang-orang Metropolitan yang serba gegas dan melewati kesemrawutan social: banjir dan mecet, terutama. Tidak. Tempat hiburan lain di ibukota yang bisa banal, mesti dengan inovasi-inovasi dan bahkan menabrak budaya Anak Negeri ini. Sedangkan TMII tetap dengan “Anjungan-anjungan” berkesan seperti itu-itu saja. Namun, bukankah ini sebuah perekat dan sekaligus pelestari budaya bangsa? Agar tidak runtuh.

Ketemu dan Makan Ramai-ramai

Pada Sabtu dan Minggu regular, menjadi puncak TMII dikunjungi. Tamunya – baca: pengunjung – bisa mencapai 25.000 orang. Jika dikalikan dengan 52 minggu maka akan ada angka: 1. 300. 000 orang bertandang. Itu belum dikalikan harian yang rata-rata dikunjungi 10. 000 orang. Lalu hari puncak seperti Lebaran. Maka jelas, TMII yang dikelola melalui Yayasan Harapan Kita praktis tak pernah sepi pengunjung. Apa pun masa dan massanya. Karena ini milik Anak Negeri.

Taman Mini yang waktu itu dimodali 10,5 miliar rupiah untuk pembangunannya menjadi ikon bangsa ini. Jika ada kembangan dengan adanya fasilitas yang bukan khas budaya bangsa ini, sebuah keniscayaan tambahan sebagai sarana sebuah tempat rekreasi. Semisal kereta gantung, monorel, Teater Imax Keong Mas, Teater Tanah Air, Bayt Al Quran dan Museum Istiqlal serta Snowbay Water park. Karena, Anjungan-anjungan itulah simbol sesungguhnya dari TMII yang akan memasuki usia 40 tahun alias lima windu.

1427780959825263322
1427780959825263322

1427781028609243605
1427781028609243605

Di Anjungan Jawa Timur: ada rawon, tentu.

Taman Mini bukan sebuah proyek atau gagasan ujug-ujug. Karena sejatinya, penggagas, Ibu Tien Soeharto dalam rapat pengurus Yayasan Harapan Kita di Jalan Cendana No. 8 Jakarta itu sudah merancang budaya dalam miniatur berupa: rumah-rumah adat yang dilengkapi pergelaran kesenian, flora-fauna dan budaya dari tiap daerah di Nusantara ini. Artinya, mencakup semua aspek budaya bangsa. Itu sebab, dalam penutupan rapat Kerja Gubernur, Bupati, Walikota seluruh Indonesia di Istana Negara Jakarta pada 30 Januari 1971 Ibu Tien menggelar asanya membangun Indonesia Mini.

Hasil konkret kunjungan warga negeri sendiri – dan diapresiasi wisatawan asing – bukan tolok ukur hasil sebuah cita-cita Taman yang berada di sisi kiri jalan Tol Jagorawi dari arah Cawang, Jakarta Timur. Karena taman ini bukan sebuah tujuan wisata mencari untung atawa provit oriented. Tak, sama sekali. Bisa menjadi tonggak dan kemudian dikunjungi serta dipelajari seperti Durmin dari Pemalang ketika akan bertemu-kumpul di Anjungan Jawa Tengah untuk melihat kesenian khas Pantura Sintren dan Jaran Eblek adalah sebuah kekangenan dan jalinan batin dengan teman-teman di ibukota.

1427781137836211984
1427781137836211984

Spanduk yang menunjukkan acara kumpul sesama orang daerah. Merekatkan antarmereka Anak Negeri.

Acara pertunjukan kesenian itu sendiri bisa menjadi cantelan saja. Di mana sambil menikmati bersama kesenian, menggelar tikar, lalu meriung membincangkan daerah asal. Karena yang penting adalah, “Saya membawakan Grombyang khas Pemalang permintaan saudara saya, untuk dimakan bersama,” tutur lelaki yang tinggal di Danasari, Pemalang Jawa Tengah itu.

Acara kumpul dan makan-makan itu bagian pertemuan dari sebuah kerinduan akan kampung halaman. Yang tak bisa dimungkiri sebagai sebuah pertautan akan sesama Anak Negeri. Dari Sumbar, bisa diingat rendang yang mendunia. Atau rawon dan rujak cingur dari Jawa Timur. Nasi timbel Tanah Priangan, Nasi Liwet Solo Jateng, Gudeg Jogja, Soto Banjar, Ayam Taliwang Lombok dan seterusnya.

Jika rendang menjadi makanan top di dunia – nomor satu, lho! – apa manifestasi Anjungan Sumatera Barat (Sumbar) – yang menempati rating tertinggi sebagai anjungan paling menarik dikunjungi? Belum ada penelitian dan  benangmerahnya. Yang jelas,  Anjungan dengan bangunan berarsitektur khas mirip kapal itu setidaknya dikujungi rata-rata 100 orang tiap hari. Ini bila dikalkulasi dengan semua kawasan anjungan-anjungan Pulau Sumatera. disambangi sebanyak 397.283 orang per tahun. Melampaui Anjungan Jawa-Bali-Nusa Tenggara, 366.381 orang. Dan anjungan lainnya berada di bawahnya.

14277802611841673968
14277802611841673968

Kalender TMII tahun 2015 di Anjungan Jawa Timur

Taman mini tak bisa diurai hanya dengan satu-dua hari, jika ingin mengenal negeri dari kawasan ini. Namun ia tetap sebuah oase yang sudah selazimnya dirawat untuk menjadi perekat bersama bangsa. Bisa dengan anak-anak Metropolitan dalam berkesenian tiap akhir pekan. Atau orang daerah yang sudah menjadi warga ibukota bertemu-kangen dengan saudara dari daerah sambil mengudap bersama makanan “khas”nya. Apabila hanya melihat pulau-pulau di Kolam Taman ini sebuah nilai tambah. Bahwa dari gundukan-gundukan kecil itu dipersatukan oleh air jernih kehidupan kita bersama. ***

foto-foto: TS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun