Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Perjalanan Gerimis di Sabtu Lembab

23 Februari 2014   14:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tentang Perjalanan Gerimis di Sabtu Lembab"

Oleh Thamrin Sonata

SULIT menemukan warna biru walau sejengkal di langit pagi ini. Semuanya kelabu, ditambah deras air yang tumpah dari langit. Bak digelontorkan begitu saja. Maka menjelma labirin yang sulit untuk diurai. Kutengok jam di handphone sudah menunjuk angka yang terus merangkak: 09.58.

“Jadi ketemuannya?”

SMS itu menggugah tanyaku balik di hati sendiri. Kujawab, “Sebentar. Kutanya Mar,” dalam SMS pula.

Kutelpon Mar.

“Di sini nggak hujan tuh. Jadilah. Ya, rada telat dikit gak apa.”

Ku SMS Ti yang tadi SMS bertanya tentang rencana pertemuan. Ia menjawab OK.

Hm, aku sendiri ragu sambil menunggu bis yang akan membawaku ke sana: pertemuan biasa-biasa dengan dua orang wanita. Yang satu lajang, berkulit putih dan berkacamata. Sedangkan seorangnya lagi, Ti, wanita matang dengan penampilan chic. Kemarin baru mengendarai ke pelosok negeri nun di sana.

Aku nyemplak begitu si moncong mercy merayap mendekatiku, bersamaan pintu yang terkuak. Kucari tempat duduk yang tak basah karena di sana-sini terhujani tetes air. Atau mungkin AC. Kuhempaskan tepat di belakang wanita cantik, putih dan berkacamata lebar. Ada kesan angkuh dari bibirnya yang tampak natural.Seperti istri aktor brengsek yang suka gonta-ganti cewek, sesuka ia sebagai lelaki pencundang sesungguhnya. Betapa tidak. Semua dirayu. Jika tak mau, maka akan dikata-katai sesuka hati: berwajah buruk, nggak tajir dan seterusnya dan sebagainya. Seolah ia lelaki ganteng di jagad hiburan yang akan mudah tergerus waktu. Seperti usianya yang tak lagi muda, kini. Walau yang dipampangkan selalu yang itu-itu. Senyum palsu.

Hm.

Seorang lelaki bertopi pelukis terkenal masuk, dengan gitar kroposnya.

“Selamat pagi menjelang siang pada Sabtu yang lembab. Mungkin ada yang libur, atau malah lembur,” kicaunya dengan tata bahasa tak biasa bagi seorang troubadour.

Tak ada yang menimpali, tentu. Apalagi tepuk tangan.

Jreng.

“Ini lagu yang mungkin bisa membawa suasana hati Anda sekalian ….”

Hm, belagunya masih saja.

Harusnya kau mengerti

Sungguh besar artimu bagi diriku ….

Ah. Boleh juga. Tidak fals, dan petikan dawainya nggak meleset. Lalu aku jadi memicingkan pada sang troubadour. Ketika …

Biarkan hujan membasahi bumi

Atau bulan yang tiada berseri

Namun jangan kaubiarkan cintaku

Yang tulus suci hanya padamu

“Semua yang ada padamu …wooooow,” desisku mbrojol. Aha.

Bis merayap. Melintasi persawahan yang hanya sepelemparan dari keriuhan kota. Ya, di Halim Perdanakusuma masih ada bentang sawah yang ditingkahi air hujan pada Sabtu aku di bis. Nglangut dan ngungun jadinya. Aku tak peduli dengan wanita cantik yang sepertinya masa bodoh dengan hari yang lembab dan penuh kesenduan ini. Ah, ia mungkin sedang kangen dengan lelakinya yang suka obral cinta itu. Dengan kejengkelan yang full.

Lalu bis ke luar dari pintu tol. Berada di atas jembatan. Dan mulai merambat di kerimbunan daun akasia, seperti menutupi Jakarta yang biasanya sangar saat mentarinya di atas kepala.

“Sekarang melintasi Tugu Pancoran. Namun saya tak menyanyikan lagunya Iwan Fals. Waktu sekarang menunjuk angka 11. 46.”

Hm. Sang Troubador.

“Feeling …nothing more than feeling …”

Morris Albert. Alamak.

Jakarta sesungguhnya bisa dinikmati indah. Paling tidak pada Sabtu lembab ini. Saat aku akan bertemu dengan wanita-wanita menarik. Jauh lebih menarik daripada wanita cantik angkuh berkacamata hitam yang duduk di depanku.

Jembatan Semanggi, tinggal sejengkal. Aku agak mengkal, karena mesti berpisah dengan sang troubadour itu. Ia lelaki yang sesungguhnya jauh dari syarat diikutsertakan dalam kontes nyanyi yang dikomentari oleh musikus yang penuh sensasi.

Kucemplungkan uang tak seberapa ke kantong kumal sang troubadour.

“Terima kasih, Om. Semoga hari ini tetap indah dan semangat,” katanya seraya membuka topi pelukisnya.

Hm. Mar dan Ti menjadi ada di depan mataku. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun