Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mar dan Te pada Sebuah Sore

23 Maret 2014   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mar dan Te Pada Sebuah Sore

Cerpen Thamrin Sonata

MENAPAKI trotoar bersih, dengan tatanan batu nan rapi pada sore yang terang, selembar daun melayang-layang. Pluk. Jatuh, dan hinggap  di rambutnya yang hitam tak seberapa panjang. Kukutip dengan mendahului memberi isyarat padanya. Agar ia tak bergerak-gerak.

“Ono opo, tah?” ia mencoba protes.

Aku tak menyahut. Kuambil lembar pipih kering kecokelatan.

“Aaahh ....” desahnya saat kuperlihatkan daun mahoni yang sebagian tumbuh di sekitar Monas, persis depan Museum Nasional. “Pertanda apa?”

“Entah.”

“Entah?”

Aku tertawa. Aku mengerti apa yang menjadi pertanyaannya dari penegasan kataku tadi. Ia sedang gundah. Karena apa, aku tak tahu. Maka aku ingin sekadar meringankan. Dengan sedikit sebuah hiburan.

“Ada asa bagimu.”

Ia menoleh ke arahku, dan menyunggingkan senyum. Matanya mengecil lucu di balik kacamatanya yang minus itu. Pipinya menggembung.

“Kok aku? Harapan bagiku.”

“Kita jalan ke sana, dan makan ketoprak ....”

Ia sewot, dan ingin menjulurkan tangan untuk mencubit. Aku lebih cepat, gegas. Mengeles. Tak kena. Hampa harapannya mencubit entah bagian mana tubuh ini.

“Katanya lapar.”

“Iiih ... ngalihin pembicaraan.”

“Supaya kau sehat. Nggak kedinginan. Kamu kan kalau Sabtu suka begitu.”

Ia melengking.

“Kamu jeleeeek ...!”

Sore itu kulewatkan di sisi utara Museum Nasional yang tampak begitu ranum. Jakarta tidak sedang dipenuhi kendaraan yang bisa menderum oleh auman mesin-mesin buatan Jepang atau Eropa. Atau mana saja, yang dimiliki orang-orang Jakarta. Atau mana saja yang sedang ada aktivitas di Jakarta. Untuk apa saja.

Dengan bangku plastik pas satu pantat dari penjual ketoprak yang dijajakan dengan cara gerobag dorong, kami memesan makanan serupa gado-gado atau pecel, atau karedok. Bedanya, ia memesan dengan cabe yang banyak, dan mungkin untuk menghilangkan pahitnya badan. Supaya pedasnya terasa. Aku tidak. Cukup sebiji cabe yang sudah direbus.

Pelan, kusantap kupat yang telah diris dengan nyaman.  Irisan tahu putih yang digoreng meski sudah tak lagi panas terasa nikmat saja. Lalu ada sulur-sulur bihun bercampur tauge. Lidahku bisa akrab. Mungkin karena penjualnya sedaerah denganku. Juga cabe yang pas, tidak membuatku kepedasan atau kemanisan.

“Haaah!” ia mengipas-ngipas di depan mulutnya yang menahan kepedasan cabe yang memang diminta banyak. Sebagai  pengusir rasa badan tak nyamannya.

Aku menyorongkan botol minuman mineral sisa setengah isinya. Ia menyambarnya. Dengan mengucapkan terima kasih yang tak begitu jelas terucapkan.

“Cabe-cabean ... memang ....”

“Cabe-cabean,opo?” protesnya.

Aku segera meralat.

“Maksudku, suka nantangin makan ketoprak dengan cabe gila-gilaan, ya tanggung sendirilah.”

“Iiih ... kamu jahat.”

Aku garuk-garuk kepala. Beginilah perempuan. Tidak yang sedang merasa kurang nyaman badan, meski tadi sempat begitu aktif di kerumunan orang di dalam Museum dalam sebuah aktivitas yang sengaja dan diperjuangkan dihadiri. Sehingga bertemu pada sore yang cerah, setelah Jakarta diombang-ambingkan anomali cuaca yang mulai tak sakti diramal oleh pakar tentang cuaca. Hm, Mar.

“Kok, kamu laki-laki makannya lelet, sih?”

“Karena menghormati kamu yang lagi sakit. Loro ....”

“Mmm ....”

“Apa?”

“Aku sudah sembuh.”

Aku tertawa.

“Begitu ajaibnya.”

“He-eh. Daripada ngadepin kamu yang ngaco belo.”

Kali ini kulengkingkan tawaku. Tak kuhirau penjual ketoprak asal Tegal yang terlongoh-longoh. Melayani dua pembeli yang aneh. Aku dan Mar.

“Aku pulang saja ....”

“Mmm ... ndadak?”

“Daripada keselak kamu yang sengak.”

Tak bisa kutahan tawaku. Meledak.

“Frasa puitiknya menggelitik.”

Ia kali ini mendapatkan apa yang dimauinya. Sebuah cubitan mendarat tepat di lengan kananku karena aku tak sigap.

“Aku pulang.”

“Ya, pulanglah sana ....!”

Mar tak sampai untuk duakali melotot ke arahku. Kakinya saja dihujamkan ke bumi. Bum. Bum. Dengan kekesalan yang memuncak. Hahaha. Senang aku melihatnya. Gadis yang sore itu lebih senang menumpahkan ingusnya yang sesekali turun, dan disambut dengan syal ungunya. Daripada tisu yang sudah kuberikan. Lalu, ia membalutkan ke sekitar bahunya? Ah, mana mungkin syal sudah belepotan ingus untuk sedikit menghangatkan badannya yang sedang suam-suam dari dalam.

Aku menjejeri. Ia melangkah setengah hati. Menapaki trotoar pada sore yang hangat dengan matahari berpendar full. Ah, mungkin sehangat hatinya yang memang sedang tak enak badan. Siapa suruh datang menemuiku dengan badan meriang? Hah. Di sinilah jahatku, runtukku.

Ia tak juga melambai taksi biru, putih dan entah yang berwarna apa yang melintas. Aku berdiri di belakangnya.

“Kayaknya aku mesti segera tidur ....”

“Ya, tidurlah ....,” kataku dalam hati. Tak tega aku menjawab yang bisa membuatnya kian membuncah kesal, dongkol dan semacamnya. Dengan semangat yang menggantung. Antara memang badannya yang sedang meriang dan meninggalkanku. Begitu saja.

“Jadi naik taksi?”

“Ya, jadilah...,” jawabnya menggantung.

“Yang pasti.”

“Ya, pasti.”

Aku manggut-manggut.

“OK. Yang putih? Seputih kulit dan hatimu ....”

“Te ... kau memang jelek.”

“Dari sononya.”

“Hari ini lebih jelek.”

“Karena hatimu sedang gundala....”

Ia menoleh ke arahku. Keningnya berkernyit.

“Kok gundala?”

“Gundah gundala, tah?”

“Gulana ....”

“O, iya.”

Aku menempeleng keningku sendiri.

“Stop!” sengatnya.

Aku yang mengernyitkan kening, kali ini.

“Jangan ikut-ikutan. Aku demam, dan kamu keningnya pening.”

Aku tertawa. Kali ini aku ingin mencubitnya. Tapi mana aku tega? Laki-laki pula. Ya, pada sore ini. Yang kubiarkan, mengikuti selembar daun mahoni melayang-layang luruh, dan kemudian hinggap di rambut Mar. Pluk. Kubiarkan pipihan cokelat itu menghiasinya di sana. Hm. Cantik Mar. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun