JIKA dihitung-catat, sejak tahun 1977 saya sudah menjadi warga Negara yang punya hak dalam sebuah hajatan bernama Pemilu. Di mana saat itu, saya dengan pengetahuan yang terbatas, “memilih” Wakil Rakyat yang menuju Rumah Rakyat. Meski dengan keterbatasan, mengingat Partai hanya ada 2 (dua) yakni PDI dan PPP. Sedangkan Golkar emoh disebut partai – maka namanya Golkar saja. Namun lucunya, ia selalu ikut dalam kontestasi: dan selalu menang. Bahkan sebelum pemilihan umum berlangsung. Ini semacam negeri sulapan saja. Termasuk tidak ada yang namanya pemilihan presiden. Justru “pemilihan” wakil presidenlah yang akan menjadi nilai berita. Karena hak memilih ada pada orang nomor satu, namanya melegenda: Soeharto.
Pada tahun 1982, saya menjadi (semacam) ketua Karang Taruna di lingkungan tempat tinggal saya. Waktu itu, Pemilu kedua yang saya ikuti. Dan yang membuat saya tak berkutik, saya tinggal di lingkungan “militer”. Di mana satu keluarga mestilah tunduk. Apalagi, saya sebagai ketua remaja, kemudian dijadikan wakil dalam sebuah forum anak-anak purnawirawan. Di situ saya dicekoki yang namanya generasi mendatang untuk memenangkan Pemerintahan Orde Baru. Selalu. Tak bisa tidak.
Saya tidak bisa berkutik, mengingat ada sebuah contoh. Yakni ada keluarga yang Islam militan dan mencoblos bukan partainya pemerintah alias Golkar – yang notabane enggan disebut partai politik. Lalu apa yang terjadi? Mereka diketahui dan kemudian setengah diteror oleh pimpinan di lingkungan kompleks kami tinggal. Semua warga di kompleks pun mahfum adanya.
Saya yang sudah mulai terjun ke dunia jurnalistik, makin mengerti apa arti sebuah “kebebasan” dan perpolitikan. Mungkin kami di antara orang-orang yang lebih tertekan. Bagaimana menulis sebuah “berita”. Mestilah mengikuti irama yang ditabuh mereka, jika tak ingin bermasalah. Terutama dampak bagi institusi atawa media di mana kami bekerja. Contoh kecil saja. Saya menuliskan tentang institusi yang sangat dekat dengan penguasa. “Tolong hasil wawancara kemarin, tulisannya kami lihat dulu. Kirim ke tempat kami,” pinta pimpiman institusi itu.
Saya pun membuang tulisan itu (karena ditik dulu, bukan ditik di computer), meski kemudian memberitahukan redaktur penanggung jawab di media kami. Saya berpikir, apa-apaan? Enak betul mereka meminta dan menyensor tulisan saya – yang sebenarnya hanya tulisan “biasa-biasa” saja. Tulisan tentang hal yang sesungguhnya positif (good news). Lha, kok diminta untuk dikoreksi dulu. “Memang tulisan sponsor?” pikir saya.
Maka menjadi sebuah kebiasaan, jika menjelang pukul 22. 00 sampai dengan 23. 00 Wib, sebelum naik cetak, kantor akan mendengar dering telepon permintaan penguasa. Bahwa “tulisan tentang itu jangan dimuat”. Atau, “Yang itu HL ya?” enak betul.
Lucunya, saya pernah bergabung di media massa cetak yang pernah dibreidel alias tak boleh terbit (pertengahan delapan puluhan). Itu karena dianggap berbeda dengan keinginan penguasa. Sehingga kami pun sengsara, menjadi “orang lepas” alias wartawan yang mesti mencari labuhan lagi. Padahal, sangat tidak mudah menjadi orang media yang bisa menampung orang seperti saya. Setidaknya, mengingat penerbitan saat itu terbatas. Semua harus melalui SIT (Surat Izin Terbit) yang sangat terbatas – kemudian menjadi istilah mesti ada SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Semua, dikendalikan oleh Departemen Penerangan.
Menjelang keruntuhan penguasa Orde Baru, sekitar 1998, saya punya gairah. Sebelum itu, menjadi biasa menulis secara freelance atau menulis kreatif. Juga bekerja di bidang kreatif, semacam pembuat film dan sejenisnya. Di tahun itu saya, sempat menuliskan buku "Tragedi Semanggi", dan "Inga Tekadnya Megawati, Inga Bulatnya PDI Perjuangan". Dan lima tahun lalu "Bersama Mengeroyok SBY, Bisa?".
Lalu saya sekarang ikut dan masuk di era media social, termasuk blog keroyokan semisal Kompasiana. Sebuah media yang membuat saya tercengang-cengang. Di mana muncul tulisan-tulisan dari warga yang menulis dengan bebasnya, dan ditampung di kompasiana – yang saya anggap cukup obyektif (fair). Mungkin bagi sementara Kompasianer, tidak.
Setidaknya saya bisa membacai “surat-surat terbuka” yang menjadi bagian masa lalu yang bisa dan berhak untuk diketahui oleh warga yang melek TI. Atau warga (kompasianer) yang ingin menyuarakan hatinya. Baik yang sekarang ada di kubu satu dengan kubu dua, lainnya. Plus, bisa mengunduh sebuah nara sumber yang telah ditayangkan di Youtube untuk mengabarkan, “Ini lho si dia!”
Kompasiana menjadi menarik, dan bisa menjadi salah satu media warga biasa yang menuliskan tentang apa saja, termasuk politik yang mendekati puncak dengan pilpres 9 Juli 2014. Seberapa dampak yang ditimbulkan dari kompasianer yang berkontribusi terhadap jalannya politik di Tahun Politik 2014 ini, belum ada “angka-angka”nya. Penting, tapi itu nantilah.
Sekarang, dengan adanya kompasiana, semestinya ada “pembelajaran” menarik, meski kadang bersifat radikal – sebagaimana lazimnya sebuah media sosial. Di mana kompasianer mendapatkan sebuah media yang jauh dari apa yang pernah saya alami di tahun 80an. Pertanyaannya, akan digunakan secara baikkah atau sekadar hura-hura. Dan untuk huru-hara. Saling menghujat – bahkan ketika sekarang memasuki bulan Ramadhan.
Kompasiana yang digawangi orang-orang muda, menjadi media untuk kita – para kompasianer – gunakan sebagai sebuah media yang bermartabat. Karena jika sebuah media – kendati di era yang bebas sejak diramal John Naisbitt, misalnya. Apabila sedang dalam tahap belajar (berdemokrasi), tentunya inilah media yang menguji para pengisinya (kompasianer) untuk sejalan dengan KOMPAS yang menjadi induk (kompasiana) dengan jargonnya: Amanat Hati Nurani Rakyat.
Salam, Kompasiana. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H