Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dikepung Tiki-JNE (Dari Jogja Nuju Jakarta)

15 November 2014   20:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

JOGJA, 1998.

Di tengah hiruk-ikuk politik, Jogja aman-aman saja. Bahkan Sultan HB X menjamin acara pisowan agung di Alun-alun lor. Di mana warga seperti tumpah-ruah. Kami menyaksikan itu, dan kami baru selesai mewawancarai Yani Saptohudoyo. Lengkap dengan ilustrasi Pak Saptohudoyo, yang waktu itu sakit dan duduk di kursi roda.

Menjadi soal, hasil rekaman audio-visual (video) itu mesti segera dikirimkan ke Jakarta. Bahan baku yang belum diedit itu mesti segera tertayangkan di Kabar-kabari (RCTI). Ya, cepat dan aman. “Lewat Tiki saja!” saran teman di Jogja.

Kaset master tape itu pun kami kemas dengan faktor utama: aman. Sebab, bagaimanapun “kaset” itu tak boleh kusut. Dan tiba di kantor PH di bilangan Jakarta Timur “baik-baik” saja. Di kantor cabang daerah Hotel Ambarukmo, terjadi pembicaraan serius. Antara saya dan petugas Tiki-JNE. “Aman dan besok sampai, Mas.”

Saya baru lega ketika esok sore mendapat kabar via seluler – yang belum sesemarak sekarang – bahwa kaset video wawancara pertama di liputan Kabar-kabari dari Jogja. Dan sehari kemudian wawancara dengan Ibu Yani Saptohudoyo menayang di layar kaca – sebagai infotainment pertama di jagad pertelevisian nasional.

Selanjutnya, berita-berita seputar selebriti dari wilayah Jogja dan sekitarnya, kami kirim via Tiki. Kami percaya perihal mutu dan waktu. Kaset-kaset master video tentang Gesang, maestro Keroncong, Emha Ainun Nadjib, Djaduk Ferianto, Sawung Jabo atau liputan Koes Plus kami kabarkan. Atau Garin Nugroho dengan Christine Hakim yang syuting film Daun di Atas Bantal yang menggegerkan karena terjadi hang dalam syuting itu, kami liput dari Jogja. Dan kami kirim via Tiki-JNE.

Jakarta, 2008

Saya harus mengirimkan copy film Nagabonar (Jadi Dua), Laskar Pelangi yang kami peroleh dari Deddy Mizwar dan para pemegang hak cipta film-film yang akan “disewa” oleh penerbangan nasional, ke Singapore. Kenapa Negeri jiran itu? Karena semua melalui tes dari kosultan yang digunakan penerbangan itu. Saya yang mendapat order, mematuhi aturan main yang disyaratkan. Untuk mengirimkan itu, pilihan ke Tiki-JNE yang selama ini sudah menjadi langganan – sejak dari Jogja itu.

Saya mesti menuju ke kantor besar JNE, karena waktu itu mikir, ini barang sample yang mesti sampai dalam kondisi “prima”. Apalagi, harus melalui uji coba agar bisa lolos atas penilaian konsultan penerbangan nasional yang ditunjuk itu.

Ternyata tak segampang kirim sebagaimana biasanya – kaset master – Jogja-Jakarta waktu itu, misalnya. Kenapa? Karena justru di sini diskrening dulu. Yakni dengan membongkar “kaset” yang akan dikirimkan ke Negeri Singa. Bahkan dengan santun, petugas bertanya dan membuat saya kaget, “Ini bukan bajakan, kan, Pak?”

Saya jawab, sebagaimana mestinya. Mengingat harga kaset/ VCD bajakan sangat murah. Tak sebanding dengan ongkos kirim yang sudah saya ketahui. Ratusan ribu rupiah, sementara VCD bajakan waktu itu hanya 3.000 rupiah. Jadi bagaimana mungkin?

“Bukan apa-apa. Barang bajakan tidak boleh masuk ke sana, Pak,” jelas petugas seraya menelisik cukai dan segala yang berbau dengan “keaslian” film tersebut. Oh!

Akhirnya, esoknya, saya mendapat kabar via email dari Konsultan dari Singapore itu. Melegakan. Paling tidak, barang sudah sampai dulu. Soal penawaran harga, itu urusan berikutnya. Termasuk deal or no-deal.

Kirim Buku Kompasianer yang Diterbitkan

Sebagai orang media, tak jauh dari produk dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Plus soal mengirimkan produk yang mesti dalam keadaan “bagus” dan “waktu” yang tepat. Mungkin pas jargon, soal mutu dan waktu adalah dua hal yang berkait erat bagi bisnis kami. Dan mesti. Percuma hasil bagus jika sampai diterima oleh “klien” atau pembeli tak sebagaimana produk yang kami tawarkan.

Dua tahun terakhir ini, 2013-2014 saya menerbitkan sejumlah buku dari para Kompasianer. Dan beberapa penulisnya – yang memproduksi di tempat saya – ada di tempat jauh, bahkan ada yang dari luar negeri. Mau tak mau, buku (produk) harus dikirim. Sebagaimana moto tak ingin mengecewakan klien, maka pengiriman pun digunakan yang sudah langganan. Praktis saja, tak ingin coba-coba.

Ongkos kirim (ongkir) yang terjangkau, untuk produk buku yang saya terbitkan menjadi pertimbangan. Mengingat beban ada pada “pembeli”. Karena tidak ingin buku menjadi lebih mahal daripada jika membeli di toko buku.

Lancar, aman dan waktu yang tidak meleset.

Dalam soal produk buku yang diproduksi dari pinggiran Jakarta, ternyata tak membuat saya kebingungan untuk menyampaikan ke klien. Karena saya merasa dikepung oleh Tiki-JNE. Misal, dalam radius 200 meter (paling dekat) dari rumah, ada. Dan di empat penjuru, ada untuk wilayah Jati Asih, Pondok Gede tanpa mesti repot. Bisa jalan kaki atau naik sepeda. Sehingga pengiriman bisa dilakukan pada jam-jam akhir sebelum “barang” diambil untuk dimanajemeni di pusat Tiki-JNE. Diantarkan ke alamat-alamat yang dituju.

Saya menjadi percaya. Bahwa dengan sistem dan kemudian layanan mutu dan waktu yang dipenuhi Tiki-JNE menjadi dewa penolong orang seperti saya. Dan mereka yang bergerak di bidang yang membutuhkan sebuah layan-kirim yang bermutu dan tepat waktu. Di mana pertimbangan soal harga bisa sedikit “diabaikan”. Bagaimanapun, jasa pengiriman adalah aspek terpenting jatuh di dua soal itu: mutu-waktu.

Pengalaman mengajarkan, dan kita mesti mengambilnya dengan bijak. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun