Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Buku Kompasianer Ada di Perpusnas RI

20 November 2014   18:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:18 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Kompasianer Ada di Perpusnas RI

Peniti Community Berdiri

MENERBITKAN buku ber-ISBN dan ada ber-barcode, memang sebuah kebanggaan tersendiri. Setidaknya, ini bukan buku abal-abal. Buku yang bisa dipertanggungjawabkan. Plus buku yang bisa diakses dengan “memindai” barcode. Buku pun bisa dilihat dari mana pun, di seluruh dunia.

Untuk memperoleh ISBN dan Barcode, ada terobosan dari Perpusnas RI. Yakni penerbit tidak lagi dikenakan uang sepeser pun. Cukup – via email – dengan mengajukan syarat yang blankonya tersedia dari Perpusnas RI. Relatif sekitar 2-3 jam bisa kita peroleh jawabannya, ya melalui email pula. Praktis, kan? Ini era digital, gitu, lho!

Dalam dua tahun terakhir ini saya mengeditori sepuluh judul buku dari para Kompasianer. Baik secara perseorangan maupun secara keroyokan alias bareng-bareng, kompilasi, antologi. Dan semuanya berbarcode atawa sekaligus berISBN. Sehingga bagi kompasianer guru atau PNS bisa menjadi catatan penting. Ia atau mereka – para guru – akan diperhitungkan secara akreditasi jenjang kepegawaiannya. Sebuah catatan tambahan yang menarik, tentu. Setara dengan mengikuti seminar nasional. Bahkan ada buktinya. Berupa buku fisik.

Maka, menulis dan punya buku berISBN menjadi sebuah keniscayaan bagi Kompasianer. Setidaknya, bahwa bukunya ada (secara fisik) di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, di Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Kata lain bahwa buku kompasianer: Iskandar Zulkarnain, Maria Margaretha, Gaganawati, Rifki Feriandi, Dian Kelana, Titin Sulistiawati, dan Tjiptadinata Effendi. Di samping nama-nama Ismail Suwardi Wekke,   Cay Cay, Teguh Hariawan, Tytiek Widyantari, Giri Lumakto, Bain Saptaman, Akhmad Fauzi, Didiek Sedyadi, Edrida Pulunga, Enny Soepardjono, Isson Khairul, Mutiaraku, Cucum Suminar, Majawati Oen, Rumah Kayu, Parastuti, Find Leila, Febrialdi, Edisoer,Weedy Koshino, Ando Ajo, Puji Nurani dan Ngesti Setyo Moerni atau Mike Reyssent. Ya, mereka yang tergabung dalam buku 36 Kompasianer: Merajut Indonesia, 25 Wanita Merawat Indonesia atau Pancasila Rumah Kita Bersama.

Cukup Dua Buku

Dengan begitu, nulis buku berISBN menjadi sebuah catatan melawan lupa. Di mana buku-buku ada di perpustakaan nasional, dan bisa diakses oleh siapa pun. Kapan pun – di jam kerja perpusatkaan nasional yang besar itu. Syaratnya? Mengirimkan atau menyerahkan Karya Cetak dan Karya Rekam (KCKR) sesuai dengan Undang-undang No.4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan itu.

Sayangnya, seperti dilansir KOMPAS pekan ini, penerbit ada saja yang tak menyerahkan hanya 2 (dua) eksemplar itu. Entah alasan apa. Padahal, dengan menyerahkan buku yang diterbitkan itu, bila sewaktu-waktu ada hal yang tak diinginkan, hilang-rusak atau “kecelakaan” buku bisa diakses di Perpusnas RI. Ini hal yang tak bisa saya (Peniti Media) pahami. Artinya, rugilah. Sudah menerbitkan dengan ratusan dan mungkin ribuan eksemplar kok nyerahkan dua buku hingga resmi sebagai buku ber-ISBN tak dilakukan.

Bagi Kompasianer

Bagi Kompasianer yang kebetulan menerbitkan buku lewat Peniti Media yang saya kelola, ingin sedikit berbagi. Bahwa menerbitkan buku hal hebat dan bukunya bisa didapatkan di Perpustakaan Nasional, nilai tambah lain. Artinya, menulislah dan membukukan yang berujung pada sebuah kontribusi “melawan lupa”. Apalagi bila bisa menginspirasi seperti tulisan-tulisan Pak Tjiptadina Effendi. Menurut Lizz, penulis fiksi piawai: Bapak Tjiptadinata Effendi adalah gudangnya pengalaman hidup. Semua tertuang dalam setiap tulisan yang beliau goreskan dengan penuh cinta buat pembacanya.

14164567951422355966
14164567951422355966

Atau sebuah ajakan dari Rifki Feriandi – yang kemudian ternyata bisa digunakan para siswa sebagai “petunjuk” nulis. Di mana ia Bulan Bahasa Oktober 2014 lalu sempat nangkring di SMANegeri 1 Majalengka. Di depan 330 orang siswa menyimak “isi buku” Cara Narsis Bisa Nulis. Lalu, hasil dari ngomongnya itu, beberapa siswa SMAN 1 Majalanegka itu menjadi Kompasianer. Sekali rengkuh, dua-tiga pulau terlampaui. Kompasiana menjadi tersebar luas, dan siswa mulai beraktiviatas sebagai “Jurnalis Warga”.

Bagi Dian Kelana, sebuah obsesi setelah membukukan novelnya Seorang Balita di tengah Pergolakan PRRI. Sedangkan Iskandar Zulkarnain, bisa mencatatkan perjalannya ke Tanah Suci, ketika Umroh dan jalan-jalan religius di sekitar Walisongo, di Pulau Jawa. Atau Titin Sulistiawati yang bisa menuliskan (sejumlah puisi dan cerpen) perihal cinta dengan bahasanya, seperti dikomentari Pepih Nugraha: Pujangga cinta dalam rupa puisi atau sekadar cinta lahir setiap hari tanpa diminta, sebagaimana bayi yang lahir dari rahim ibu, bayi yang hadir ke dunia karena cinta.

Pepih Pemberi Testimoni

Kang Pepih Nugraha, punya catatan tersendiri dengan tulisan Kompasianer yang kemudian dibukukan – terutama di Peniti Media. Yakni pemberi kata pengantar yang ikhlas, meski kerap saya desak dengan waktu mepet, hehehe. Ia juga pemberi testimoni yang bisa secara esensial menukik dan menajam. Pemberi semangat, semisal kepada Pak Tjiptadinata : Ia contoh penulis yang serius menekuni kepakarannya. Tulisannya termasuk banyak dinantikan oleh pembaca.

Dengan sepuluh kata pengantar dan endorsementnya itu, punggawa Kompasiana ini punya catatan rekor tersendiri. Bahkan kemudian, ketika saya dan Kompasianer Isson Khairul merebugkan acara Kompasianival, di mana Peniti Media diberi kesempatan untuk ikut hadir, mengusulkan: Peniti Community (PC) saja. Kata lain teman-teman bisa berilaturahmi di sini.

Ya, yakni PC bagi teman-teman Kompasianer dan yang ikut bergabung dan menuliskan buku di Peniti Media. Sebuah usulan yang tak bisa ditampik dan dinafikan begitu saja. Siapa tahu, sekian tahun kemudian, sekian Kompasianer menerbitkan buku bermartabat. BerISBN dan berbacode. Sebuah sumbangsih konkret dan mulia, tentu.

Itu sebuah bagian penting catatan warga Negara yang seperti dinyatakan Thamrin Dahlan (Uda TD) terhadap bukunya Tjiptadinata: "Beranda Rasa" nan mempesona. Buku ini dijamin akan menjadi bacaan dan kemudian koleksi terbaik di dalam memotivasi para pembaca.

Ah, sepakatlah, Uda TD. Dan kita sepaham dengan Buya Hamka: “Biarlah tulisan itu mengikuti takdirnya … Biarlah tulisan itu membela dirinya.”  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun