Buku "Revolusi dari Desa" karya Yansen siap diuji secara terbuka. (Foto:TS)
Judul : Revolusi dari Desa
Penulis : Dr. Yansen TP., M.Si
Penyunting : Dodi Mawardi
Penerbit : Elex Media Komputindo, Jakarta
Tebal : 180 + xxv halaman, 2014
DESA acap diidentikkan dengan ketidakmodernan. Sesuatu yang di pinggir, dan dibutuhkan ketika kota – mengklaim sebagai yang maju – sesungguhnya kehilangan modal dasar dalam hidup dan kehidupan di sebuah negara. Ibaratnya, kunang-kunang sudah tak ada di kota. Padahal, desa dan atau kunang-kunang pun sesungguhnya punya cahaya. Bila dalam jumlah banyak dan serempak?
“Kunang-kunang bagi kami penerang yang berarti,” kata penulis buku bersampul metamorphosis ulat hingga menjadi kupu-kupu, Dr. Yansen TP., M.Si. di Jakarta.
Tidak mudah untuk menggerakkan kunang-kunang di tengah abad berlari dengan beribu-mega watt cahaya gemerlap kota dan metropolitan. Ibarat menegakkan benang basah. Tidak. Setidaknya optimis itu dicoba digerakkan oleh tangan terampil dan biasa bersinggungan dengan lumpur dan tanah desa.
Di tangan seorang yang punya nyali dan niat kuat, atau ia mengibaratkan dirinya sebagai kunang-kunang, ingin mengubah paradigma itu. Perjalanan karier – dari bawah, sejak PNS-staf-camat – mengerti arti sebuah desa. Yang sesungguhnya punya kekuatan. Setidaknya, itu dibuktikan ketika ia punya peluang saat menjadi Bupati Malinau. Yakni apa yang disebut sebagai Gerdema - Gerakan Desa Membangun.
Tak terlalu muluk. Mengingat sesungguhnya filosofi itu sudah ada. Yakni: masyarakat sesungguhnya mereka menjadi titik awal yang baik untuk memulai sebuah upaya untuk mewujudkan pembangunan nasional (Gerakan itu Berasal dari Rakyat). Lalu, akan sangat mudah pula untuk menggugah semangat mereka melibatkan diri dan lebih mudah bagi mereka untuk turut berpartisipasi secara langsung dan aktif dalam pelaksanaannya (Gerakan itu Dilakukan oleh Rakyat). Dan, Setiap desa memiliki kebutuhan yang beragam dan sering kali tidak sama antara satu desa dengan desa lain (Gerakan itu Menghasilkan Manfaat untuk Masyarakat Desa).
Tiga aspek esensial itu, diterapkan dengan konsisten, terbuka dan tak kenal lelah. Dan, tentu, bukan sebuah pembalikan telapak tangan yang mudah. Mengingat ini sebuah “revolusi”. Di mana para pengikut (baca: warga) terkaget-kaget dan terpontal-pontal. Plus, para pemangku di tingkat bawah (baca: aparat) apa untungnya jika sudah memegang kekuasaan yang nyaman. Tak perlu melakukan hal aneh atawa yang bisa membuatnya tak mendapat apa-apa. Menjadikan blunder dan sejenisnya – yang tak menguntungkan.
Yansen, menyadari sepenuhnya. Sebuah “teori” – baru, tentu, untuk tak menyebut melawan kemapanan – akan mendapat pertentangan. Namun sebagai orang yang punya bekal ilmu – dan pernah menjalani sebagai birokrat – inilah sebuah gerakan yang mesti. Setidaknya, apabila kekuasaan yang ada di tangannya digerakkan secara bertanggung jawab-terbuka dan sungguh-sungguh.
“Masyarakat semangat untuk menyampaikan usulannya. Begitu pula dengan pelaksanaan kegiatan, masyarakat sudah banyak terlibat karena sistem pelaksanaannya secara swadaya masyarakat,” aku Kepala Desa Pelita Kanaan Malinau, Musa B.
Menjadi pertanda. Bahwa gerakan itu bila dilakukerjakan beramai-ramai bisa menjadi sebuah energi positif – kekuatan. Keterlibatan mereka – warga desa – memancarkan kerlip asa. Sekecil apa pun. Yang jika secara serempak, menghasilkan sesuatu yang membesar. Sehingga tolok ukurnya menjadi jelas. Melalui laporan-laporan – yang dibaca oleh seluruh warga – tanpa tedeng aling-aling. Semisal: Pelayanan pendidikan, Pemerataan Kesehatan, Pemerataan Penyediaan Air bersih, Pelayanan Listrik desa, Pelayanan Pemerintah.
Persepsi Aparatur dan Masyarakat Terhadap Dampak Gerderma dalam Pelayanan Publik pun, jelas. Siapa-siapanya: Aparat Desa, SKPD, LPMD, BPD, Satgas, (bahkan) Masyarakat terukur. Dan itu menjawab keraguan atawa stigma yang sudah menfosil, jika mereka sesungguhnya bisa mengubah dan membalikkan cap jelek itu. Sebab, jika menilik Pelayanan Pemerintah yang meliputi: Mutu layanan pemerintah desa, Kecepatan layanan pemerintah desa, Pemetaan layanan pemerintah desa, sangat mencengangkan (lihat dalam persentase, berikut). Ini bisa disimak pada angka 93.44, 95.58 dan 92.90 untuk aparat berseragam yang kerap diemohi warga adalah sebuah fakta dan bentuk kepercayaan warga rakyat yang selama ini semestinya dilayani mereka.
Menggulirkan sebuah “teori” dan dalam bentuk teks tercetak, bisa disebut sebuah keberanian untuk digugat siapa saja. Karena bersifat terbuka. Dan jika kesadaran itu menjadi nilai baik (positif) ia akan menjadi. Sebaliknya, jika itu bualan (negatif) akan mengubur dirinya. Habislah itu!
Yansen, memaparkan teori "Revolusi dari Desa" di Jakarta. (foto:TS)
Penulis telah mendobrak mitos, bahwa warga desa itu pemalas, terbelakang dan biasa-biasa saja sebagaimana lazimnya orang udik, tidak benar. Yang benar adalah, jika mereka – warga desa, di Kabupaten Malinau ada 109 desa – diberdayakan serempak adalah sebuah kekuatan. Menjadi cahaya yang bisa tampil dan sekaligus menerangi sekitarnya.
Saya teringat sebuah cerpen biasa-biasa saja (tahun 70-an) yang sempat menggegerkan di jagad sastra kita: Seribu Kunang-kunang di Manhattan, buah karya Umar Kayam (prof). Di mana digambarkan oleh budayawan itu, tokoh Marno, rindu tak terperikan. Ia sambil termangu di sofa bersama Jane, pacarnya, lewat jendela melihat kerlip lampu di kota Negara adidaya (Manhattan) tak ubahnya seribu kunang-kunang seperti di sawah embahnya di desa.
Apakah Yansen seperti Marno? Ingin menggerakkan Malinau dan bisa menjadi sebuah kekuatan – tak hanya sebuah teori? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H