ADA apa di TWC 4? Ada 24 orang guru dari berbagai daerah. Mereka, pria-wanita sengaja datang di Teacher Writing Camp (TWC). Untuk menimba ilmu dari “Saatnya Anda Menulis dan Menerbitkan Buku”. Nah, Jumat (26/12) kemarin pukul 16.00 saya ada di antara mereka di Wisma UNJ (Universitas Negeri Jakarta) Rawamangun.
Ngomong di depan guru: untuk nulis dan menerbitkan buku (foto:Maria M)
Didapuk sebagai pembicara di depan para guru, notabene (minimal) sudah Strata Satu, asyik juga. Mengingat mereka sudah biasa berbicara di depan banyak orang. Plus di depan mereka, masing-masing, sudah siap laptop. Setidaknya, mereka sudah nggak asing dengan menulis di blog, termasuk ada yang sudah menjadi Kompasianer, blog keroyokan. “Untuk menerbitkan buku, gampang. Ini era digital. Satu buku pun bisa diterbitkan, kok. Berbeda dengan tahun awal delapan puluhan, di mana buku novel anak-anak saya diterbitkan. Saat itu, ya adanya penerbit mayor,” saya mulai berkicau.
Secara Indie
Yang disebut penerbit mayor adalah penerbit (besar, ternama) yang menerbitkan buku sebagai sebuah industri. Di mana mereka sebagian sudah tergabung dalam Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia). Secara umum, buku-buku produk penerbit ini dijual secara bebas di rak-rak toko buku. “Jika Bapak-Ibu guru mesti ingin menerbitkan buku ke penerbit ini, ada proses cukup panjang. Di samping naskah mesti lolos seleksi dari penerbit,” saya menguraikannya dengan bahasa sederhana.
Peserta TWC 4. Semua berlaptop. (foto Maria M)
Menjadi impian guru yang pemula untuk bisa menjadi penulis beken. Di mana nama terkenal, kemudian menjadi pembicara dan mendapatkan honor (royalty) yang menggiurkan – melebihi setahun gaji yang diterima. Namun melewati jalur berliku untuk bisa menulis buku laris seperti Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih atau 5 Menara, 5 Cm misalnya. “Kalau pemula dan nama belum terkenal, maka buku akan tergusur dari rak toko buku dalam waktu singkat,” terang saya. Alias hanya beberapa eksemplar yang terjual. Sakitnya di sini!
Jadi?
Menerbitkan secara indie, satu di antara pilihan bagi penulis pemula – yang belum punya buku. Di mana dalam menerbitkan buku ini lebih cair. Penulis dan penerbit, bisa kompromi. Apa bentuk kerja-samanya. Hingga bersepakat: berapa jumlah buku yang dicetak, bagaimana memasarkan dan hak serta kewajiban masing-masing. Termasuk berapa modal dikeluarkan.
Peserta TWC 4 Akan Punya Buku
“Buku adalah muara dari menulis, kata Thamrin Dahlan, Kompasianer senior,” kutip saya pada kolega saya yang sudah menerbitkan beberapa buku, setelah aktif di blog keroyokan Kompasianer. Ia juga ikut dalam penulisan Pancasila, Rumah Kita Bersama yang saya editori.
Padahal, bila mengutip, bahwa, “Menulislah, dan biarkan tulisan ini menemukan takdirnya seperti bisa dikutip dari novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijk-nya Buya Hamka, maka tugas kita adalah menulis.” Artinya ini menjadi urusan penerbit. Benar. Namun dalam menerbitkan secara indie, faktor “menjual” produk alias buku menjadi bagian bersama antara penulis dan penerbit. Ini seperti contoh yang saya gambarkan pada penerbitkan buku “Beranda Rasa”nya Tjiptadinata Effendi, Kompasianer of The Year 2014 yang ditabalkan di TMII, 22 November lalu.
“Beliau kan ketua dan Master Reiki Indonesia. Nah, dengan anggotanya yang tersebar ke seluruh Indonesia, dalam waktu sebulan ini sudah laku sebanyak empat ratus eksemplar,” jelas saya yang ikut bertestimoni dalam acara Training Reiki di Bandung, Sabtu pekan lalu.
Di sini menjadi jelas. Bahwa menerbitkan buku secara indie pun menjadi pilihan menarik. Termasuk buku bisa dijual secara komunitas-teman-sesama blogger. Dan bukankah guru-guru punya “massa”? Inilah bagian orang seperti saya. Yang kebalikan dari era digital sekarang. Karena saya menulis dan menerbitkan buku di era sulit. Harus menembus ke penerbit mayor, penerbit besar.
Bukti sebagai pembicara. Kata Omjay untuk laporan ke sponsor (foto: Maria M).
Di ujung paparan, saya sebutkan. “Bagaimana supaya tak mengawang-awang, dan Bapak-Ibu Guru yang sekarang ada di sini menerbitkan buku secara keroyokan? Seperti beberapa buku yang saya terbitkan dari beberapa Kompasianer?”
Mereka mengacungkan tangan. Setuju.
“Soal tema, mungkin bisa diajukan Komunitas Sejuta Guru Ngeblog, ya Omjay,” kata saya sambil melirik ke Kompasianer Guru Paling Ngeblog yang bertubuh subur itu. “Mungkin pengalaman Bapak-Ibu Guru menjadi peserta TWC kali ini. Kan bisa seperti pelangi. Berwarna-warni. Nah, kalau sudah menjadi buku, pada TWC 5 mendatang, menjadi sebuah alat bukti,” seloroh saya.
Namin AB, M.Pd ketua panitia TWC 4 pun tertawa. Seraya menambahkan. “Menjelang acara penutupan nanti akan saya jelaskan. Bagaimana teknisnya. Dan nanti KSGN bekerja sama dengan Peniti Media penerbitannya Pak Thamrin,” jelas guru yang sudah menulis buku Guru Go-Blog itu.
Buah ngomong di TWC 4. (doc: TS)
Seperti mempertemukan dua kutub. Para guru peserta TWC4 pun antuias. Langsung menunjuk teman yang akan menjadi koordinatornya. Sehingga salah satu tema untuk “Menerbitkan Buku” bukan lagi sebuah omong kosong. Insya Allah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H