Malam itu seperti biasa kita pulang dari lokasi pengabdian menuju rumah singgah yang kurang lebih jaraknya sekitar dua kilometer dari tempat kita beristirahat sebagai Mahasiswa yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata. Hari itu memang cukup melelahkan rasanya karena hari itu merupakan hari ketiga kita membantu perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-77 di Kampung Ciwareng, Kabupaten Garut bersama karang taruna disana.
Sampai di Rumah, semua anggota kelompok KKN 39 melakukan kebiasaanya yakni Bagas yang langsung rebahan, para perempuan yang selalu rebutan mengantri kamar mandi, atau petugas piket yang sibuk menyambut dan menata berbagai makanan yang sudah mereka masak. Namun, ada yang berbeda pada malam itu. Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan kencang dari balik pintu kamar sebrang "Sakit, sakit, huaaa," teriak seseorang dibalik sana. Seketika semua orang kaget dan berlarian menghampiri sumber tangisan itu. Akupun sontak ikut penasaran dan tanpa sadar ikut berlari kecil untuk mengetahui siapa dan kenapa orang itu menangis.
Dan ternyata dugaanku benar. Ia adalah Nilam Surya, seorang gadis berdarah Minang yang mengidap penyakit mental 'Skizofrenia dan Borderline Personality Disorder (BPD) yang saat ini menduduki bangku kuliah semester tujuh di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Malam itu semua orang disekitarnya terlihat panik, dan saling melirik seolah berisyarat 'harus gimana ini?' sampai pada akhirnya lirikan Ehan, dan Hayya serta yang lainnya jatuh kepada aku seolah-oleh tatapan mereka mengatakan 'Kamu pasti tau cara nolonginnya kan'. Hal itu dikarenakan aku adalah Relawan PMI Kabupaten bogor yang selalu membawa P3K kemana-mana dan mereka berfikir bisa melakukan pertolongan apapun.
Meskipun aku belum pernah mendapatkan kasus seperti ini dalam pertolongan pertama selama aku menjadi relawan atau bahkan aku saja belum pernah diajari materi maupun praktik terkait penyakit mental, tapi dalam hati ini seperti berbicara 'aku akan mencoba sebisaku.' Tanpa butuh waktu lama, aku menyuruh Nisa untuk mencari cara pertolongan penyakit mental yang sedang kambuh di Google. Â "Sakit, huaaaa sakiit," tangisan Nilam pun semakin meneyeruak disambil dengan pukulan-pukulan yang ia jatuhkan ke dadanya.Â
Akupun sontak dengan segera membuka kerudungnya, menghindarkan barang-barang yang sekiranya dapat melukainya seperti jarum, peniti yang ada disekitarnya. Kemudian, perlahan aku tanya dengan lembut "Nilam kenapa?," tanyaku sambil mengelus punggungnya perlahan. "Sakit, Thal," jawabnya sambil terus menangis. Nisa yang sedari tadi sibuk melihat gawainya tiba-tiba menyodorkan hasil pencariannya terkait 'penanganan penyakit mental yang kambuh' disana tertera perintah yang menyebutkan harus mengalihkan focus korban atau rasa sakitnya dengan hal lainnya.
"Nilam, mau tulis ga cerita rasa sakitnya," tanya Nisa sambil sesekali melihat layar hape yang ada di sebelah kiri tangannya. Nilam menggeleng dan masih terus menangis, "Kalo menggambar?," tanya lagi Nisa yang saat itu malah disambut dengan keheningan dan seketika Nilam malah berbicara sendiri dengan nada cepat.
Ya, aku ingat Nilam pernah cerita waktu diawal pertama kali kita ketemu di Chawa Caffe "Aku pengidap BPD sama Skizo, sering Cutting kalo lagi kambuh sama jangan kaget ya kalo aku suka ngomong sendiri," celetuk Nilam setelah memperkenalkan dirinya. Aku juga pernah tanya alasan dia punya penyakit mental karena masa lalu waktu kecil yang selalu di Bully dan diasingkan. Seketika tanpa berfikir lagi aku langsung bertanya "Kamu lagi inget masa kecil kamu ya Lam? Gara-gara tadi kamu lihat anak-anak pas agustusan ya?" tanyaku sambil menatap Nilam yang penuh dengan linangan air mata.
Ia mengangguk namun masih terus menangis. Putri yang melihat jawaban itu, sontak langsung melebarkan dua tangannya sambil menawarkan "Mau peluk?," dan seketika disambut baik dengan penerimaan Nilam yang memeluk Putri dengan erat sambil menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya tangispun pecah, aku dan Putri hanya bisa mengelus punggung dan kepalanya sambil berkata "Gapapa nangisin aja Lam, biar rasa sakitnya reda".
Sekitar butuh waktu kurang dari lima menit, tangis Nilam mulai reda dan tersadar bahwasanya ia habis kambuh. "Ih aing kenapa?" tanyanya seolah-olah lupa detik sebelumnya apa yang ia rasakan. Lalu, kita menceritakan apa yang terjadi dan menyuruhnya untuk segera minum obat setelah makan. Â Alhasil, kita berhasil menenangkannya dan langsung mengajaknya untuk segera makan malam.
Keesokan harinya, merupakan hari tenang bagi kita karena tidak ada kegiatan yang terjjadwal di hari itu. Teman-teman KKN yang lainnya pun sangat senang sekali melakukan hari tenangnya dengan rebahan, telponan, pulang ke Bandung, atau nonton film bersama. "Kita nonton film yuk? Mumpung ada infocus desa hehe," celetuk laki-laki bermata sipit dan berkulit putih dengan senyuman khasnya. "Ide bagus tuh Ei! Movie timeeee!!," jawab Ehan tak kalah semangat.
 Nilam yang baru saja mendengar ide tersebut terlihat menoleh dan seketika "Kita nonton film black phone aja yaa," kata Ei sambil memperihatkan cover film thriller tersebut. Sontak mataku membulat, bagaimana bisa mereka menonton film thriller cerita pembunuhan dan pembullyan di depan Nilam yang baru saja kambuh tadi malam.Â