Mohon tunggu...
Thalita Umaveda Al Hayya
Thalita Umaveda Al Hayya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga-20107030053

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga NIM 20107030053

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akulturasi Budaya Umat Beragama, Masjid dan Makam Mataram Yogyakarta

12 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 12 Maret 2021   07:30 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memiliki banyak sekali potensi dan sumber daya alam yang belum dikembangkan secara maksimal, termasuk dalam sektor pariwisata. Untuk lebih mengembangkan pertumbuhan sektor pariwisata dalam rangka mendukung pencapaian sasaran pembangunan, sehingga perlu diupayakan pengembangan produk-produk yang mempunyai keterkaitan dengan sektor pariwisata. Pengembangan kepariwisataan berkaitan erat dengan pelestarian nilai-nilai kepribadian dan kekayaan alam di Indonesia. Dan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia yang kaya akan obyek dan daya tarik wisata tersebut ialah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Salah satu obyek wisata religi di Yogyakarta yakni Makam Raja-Raja Mataram, yang beralamat di Kotagedhe. Dan merupakan tempat raja Mataram Islam pertama di Makamkan yaitu Panembahan Senopati beserta keluarganya. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan berdekatan dengan makam ayahnya.

Wisata Makam Raja-raja Mataram Kuno merupakan satu kawasan wisata sejarah yang berada di Kotagede, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Salah satu komponen utama di dalam tata kota kuno Kotagede yang masih lestari hingga kini adalah Masjid Gede Mataram. Yang terletak di sebelah barat toponim alun-alun. Sejarah awal yakni pada saat Panembahan Senopati memerintahkan untuk membangun masjid dan diselesaikan pada tahun 1589 Masehi.

Sejarah

Konon, nama Mataram diberikan oleh Sultan Hadiwijoyo kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah. Sultan Hadiwijoyo ini merupakan penguasa Kerajaan Pajang atas jasanya yang telah membunuh Adipati Aryo Penangsang pada tahun 1527 Masehi yang bertempat di Jipang Panolan. Ki Ageng Pemanahan kemudian meminta izin kepada Sultan Hadiwijoyo untuk menempati daerah Mataram tersebut, Sultan Hadiwijoyo pun menyetujuinya namun dengan syarat, Ki Ageng Pemanahan harus merawat seorang gadis pingitan dari Klinyamat. Dan apabila gadis tersebut telah dewasa harus dibawa masuk ke dalam Keraton Pajang.

Akhirnya Ki Ageng Pemanahan berangkat dengan diikuti oleh putra Sultan, yakni Hangabehi Loring Pasar, ada pula menantunya yakni Dadap Tulis, Tumenggung Mayang, Nyi Ageng Nis dan Kiai Ageng Jurumartini. Saat rombongan tersebut sampai di suatu tempat yang bernama Wiyoro, Ki Ageng kemudian mencari pohon beringin dan ditanamn untuk tetenger oleh Sunan Kalijogo. Ki Ageng juga membangun padepokan sebagai tempat tinggal dirinya dan keluarga yang mengikutinya, padepokan tersebut didirikan tepat di sebelah selatan pohon beringin.

Lama kelamaan desa tersebut pun semakin banyak dikunjungi orang-orang dan menjadi semakin ramai. Setelah banyak orang yang bermukim disini, barulah tempat ini diberi nama Mataram atau Kotagedhe sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam yang pertama.

Asal mulai didirikannya Masjid Gedhe Mataram ini adalah ketika Ki Ageng Pemanahan membuka hutan Mentaok yang berada di Kotagedhe. Ki Ageng Pemanahan ingin membangun pemukiman yang akan digunakan sebagai pusat pemerintahan kerajaan. Akhirnya Masjid Gedhe Mataram pun dibangun dan selesai pada tahun 1589 atau pada akhir abad ke-16. Awalnya struktur bangunan pada masjid hanya berupa langgar, namun saat anak Ki Ageng Pemanahan bertahta, barulah langgar dibangun sehingga menjadi Masjid Agung Kotagedhe. Bangunan masjid ini merupakan bentu toleransi Sultan Agung pada saat warga yang membantu membangun masjid kebanyakan memeluk agama Hindu dan Buddha. Sehingga banyak terdapat bangunan pada masjid dan sekitarnya yang menyerupai  candi-candi khas Hindu maupun Buddha.

Di dalam masjid jua terdapat beduk, beduk inilah yang dibuat secara gotong royong oleh rakyat. Setelah beduk tersebut selesai dibuat, mereka pun hendak memasukkan beduk tersebut ke dalam masjid. Namun beduk tersebut tidak dapat diangkat meskipun dengan jumlah tenaga yang banyak. Kemudian datang seorang perempuan misterius yang menawarkan diri untuk mengangkat dan memasukkan beduk ke dalam masjid. Alhasil, perempuan tersebut ternyata mampu mengangkat dan memasukkan beduk ke dalam masjid seorang diri tanpa dibantu siapapun. Setelah perempuan tersebut meninggal, ia kemudian dimakamkan bersebelahan dengan bangunan Masjid Mataram.

Bangunan

Masjid Mataram Kotagede memiliki atap tajug (lambing gantung) bertumpang tiga pada bangunan utama (liwan) dan limasan pada bagian bangunan serambi dan pawestren. Komplek  Masjid ini memiliki tiga pintu gerbang berbentuk paduraksa yang merupakan bentuk apresiasi Sultan Agung kepada pemeluk agama Hindu dan Budha yang ikut ambil bagian dalam membangun masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun