Mohon tunggu...
Thalia
Thalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Postgraduate Student

Thalia is a postgraduate student at one of the Indonesian health universities. She is interested to study about public health, public policy, and medicine.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), untuk Siapa?

19 Oktober 2024   10:00 Diperbarui: 19 Oktober 2024   10:07 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang disahkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 merupakan titik baru dalam reformasi sistem kesehatan di Indonesia. Persiapan dalam perwujudannya akan terus berjalan hingga berlakunya pada 1 Juli 2025. Pemerintah berkeinginan untuk mengadakan penyetaraan pada kelas perawatan di rumah sakit guna menghilangkan adanya stratifikasi dan mencegah diskriminasi dalam perawatan. Sehingga seluruh rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta yang bekerja sama dengan BPJS wajib memenuhi 12 kriteria yang ada pada KRIS. Salah satu kriteria yang mencolok ialah, kapasitas kamar rawat inap dengan jumlah maksimal empat tempat tidur dengan kamar mandi di tiap ruangnya. Niat dari kebijakan ini tentunya baik, namun apakah kebijakan ini dapat berjalan dengan semestinya?

Penetapan Tarif Baru
Salah satu aspek yang tidak luput dari berlakunya kebijakan ini adalah perubahan biaya yang akan dikenakan pada masyarakat. Walaupun belum ada aturan resmi terkait penetapan tarif BPJS, namun hal ini masih dalam proses evaluasi seperti yang dikatakan oleh, Dr. Ahmad Ihsan A. Moeis selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan.

"Nanti atas hasil evaluasi tersebut akan dilihat penetapan tarif, manfaat, dan iurannya. [...] apakah dibutuhkan iuran baru, tarif baru, dan manfaatnya ini dievaluasi (secara) menyeluruh. Nanti baru setelah hasil evaluasinya, penetapan iuran, tarif dan manfaat barunya, paling lambat 1 Juli 2025."

Apabila evaluasi KRIS ini sudah pasti akan disahkan, maka penyetaraan fasilitas yang diberikan akan tercipta. Kita barangkali juga perlu memahami dua sisi dari kebijakan ini. Pertama, bila dilihat dari sisi peserta kelas atas, kebijakan ini mungkin dapat merugikan. Mengingat para peserta kelas 1 dan 2 telah merogoh kocek lebih dalam, namun, dengan adanya kebijakan ini, mereka justru menerima standar pelayanan yang berkurang. Kedua, kebijakan ini barangkali dapat menjadi beban bagi peserta dari masyarakat berpenghasilan rendah, apabila tarif yang ditetapkan akan mengikuti kelas di atas kemampuannya, mengingat standar fasilitas yang diberikan memiliki standar yang lebih tinggi dibanding yang berlaku sekarang. Jika terjadi demikian, tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang mundur dari kepesertaan BPJS atau bahkan kehilangan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena ketidakmampuannya dalam membayar iuran.

Kapasitas Rawat Inap
Masalah lain yang kerap muncul dengan adanya penetapan KRIS ialah perubahan kapasitas yang tersedia pada tiap rumah sakit. Aturan ini mewajibkan 60% layanan rawat inap ditujukan untuk KRIS bagi RSUD maupun rumah sakit pemerintah, sedangkan 40% bagi rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS. Isu ini sudah disanggah oleh Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (6/6).

"[...] implementasi KRIS yang memberikan kekhawatiran akan kehilangan jumlah tempat tidur berdasarkan Bed Occupation Rate (BOR) yang berlaku (saat) ini (itu) tidak akan terjadi."

Sanggahan itu juga diperkuat dengan pandangannya kalau "estimasi kehilangan tempat tidur itu sama sekali sedikit. Karena (menurutnya) BOR di RS itu sekitar 30%-50%." Meskipun dikatakan aman, namun tampaknya Dante malah mengutarakan hal yang sebaliknya.

"Dari survei untuk implementasi KRIS per 20 Mei 2024, yang sudah memenuhi 12 kriteria KRIS itu sebanyak 79,05% atau sebanyak 2.316 rumah sakit. (Estimasi) data yang tidak mengalami kehilangan tempat tidur itu, yang paling besar, ada 609 rumah sakit. Sedangkan yang mengalami kehilangan tempat tidur 1-10, itu ada 292 rumah sakit dan sisa lainnya itu hanya sedikit-sedikit."

Pernyataan yang "sedikit-sedikit" itu tampaknya tidak memperhitungkan sisa rumah sakit yang berdampak, yaitu sekitar 1400an lebih RS mengalami pengurangan kapasitas. Apabila isu penetapan kebijakan ini ditelan begitu saja, lantas bagaimana nasib masyarakat yang membutuhkan pelayanan sedangkan rumah sakit memiliki keterbatasan kapasitas?

Dalam keadaan saat ini saja---di mana seluruh kamar yang dimiliki rumah sakit masih dapat diakses peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sesuai dengan kelasnya---pasien masih kesulitan untuk mendapatkan layanan rawat inap. Utamanya dikarenakan penuhnya ruangan rawat inap. Pasien bahkan sering kali harus dirujuk dengan alasan tidak tersedianya ruang rawat inap. Apalagi jika kebijakan ini benar-benar berlaku, tentunya akan semakin memperkeruh keadaan.

Tak hanya itu, distribusi fasilitas kesehatan yang tidak merata di Indonesia juga menjadi perhatian penting. Banyak daerah yang masih kekurangan infrastruktur rumah sakit yang memadai, yang tentunya akan semakin terganggu dengan berkurangnya kapasitas. Hal ini jelas akan menyebabkan tantangan yang lebih besar bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dalam mengakses layanan kesehatan yang prima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun