Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang disahkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 merupakan titik baru dalam reformasi sistem kesehatan di Indonesia. Persiapan dalam perwujudannya akan terus berjalan hingga berlakunya pada 1 Juli 2025. Pemerintah berkeinginan untuk mengadakan penyetaraan pada kelas perawatan di rumah sakit guna menghilangkan adanya stratifikasi dan mencegah diskriminasi dalam perawatan. Sehingga seluruh rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta yang bekerja sama dengan BPJS wajib memenuhi 12 kriteria yang ada pada KRIS. Salah satu kriteria yang mencolok ialah, kapasitas kamar rawat inap dengan jumlah maksimal empat tempat tidur dengan kamar mandi di tiap ruangnya. Niat dari kebijakan ini tentunya baik, namun apakah kebijakan ini dapat berjalan dengan semestinya?
Penetapan Tarif Baru
Salah satu aspek yang tidak luput dari berlakunya kebijakan ini adalah perubahan biaya yang akan dikenakan pada masyarakat. Walaupun belum ada aturan resmi terkait penetapan tarif BPJS, namun hal ini masih dalam proses evaluasi seperti yang dikatakan oleh, Dr. Ahmad Ihsan A. Moeis selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan.
"Nanti atas hasil evaluasi tersebut akan dilihat penetapan tarif, manfaat, dan iurannya. [...] apakah dibutuhkan iuran baru, tarif baru, dan manfaatnya ini dievaluasi (secara) menyeluruh. Nanti baru setelah hasil evaluasinya, penetapan iuran, tarif dan manfaat barunya, paling lambat 1 Juli 2025."
Apabila evaluasi KRIS ini sudah pasti akan disahkan, maka penyetaraan fasilitas yang diberikan akan tercipta. Kita barangkali juga perlu memahami dua sisi dari kebijakan ini. Pertama, bila dilihat dari sisi peserta kelas atas, kebijakan ini mungkin dapat merugikan. Mengingat para peserta kelas 1 dan 2 telah merogoh kocek lebih dalam, namun, dengan adanya kebijakan ini, mereka justru menerima standar pelayanan yang berkurang. Kedua, kebijakan ini barangkali dapat menjadi beban bagi peserta dari masyarakat berpenghasilan rendah, apabila tarif yang ditetapkan akan mengikuti kelas di atas kemampuannya, mengingat standar fasilitas yang diberikan memiliki standar yang lebih tinggi dibanding yang berlaku sekarang. Jika terjadi demikian, tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang mundur dari kepesertaan BPJS atau bahkan kehilangan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena ketidakmampuannya dalam membayar iuran.
Kapasitas Rawat Inap
Masalah lain yang kerap muncul dengan adanya penetapan KRIS ialah perubahan kapasitas yang tersedia pada tiap rumah sakit. Aturan ini mewajibkan 60% layanan rawat inap ditujukan untuk KRIS bagi RSUD maupun rumah sakit pemerintah, sedangkan 40% bagi rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS. Isu ini sudah disanggah oleh Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (6/6).
"[...] implementasi KRIS yang memberikan kekhawatiran akan kehilangan jumlah tempat tidur berdasarkan Bed Occupation Rate (BOR) yang berlaku (saat) ini (itu) tidak akan terjadi."
Sanggahan itu juga diperkuat dengan pandangannya kalau "estimasi kehilangan tempat tidur itu sama sekali sedikit. Karena (menurutnya) BOR di RS itu sekitar 30%-50%." Meskipun dikatakan aman, namun tampaknya Dante malah mengutarakan hal yang sebaliknya.
"Dari survei untuk implementasi KRIS per 20 Mei 2024, yang sudah memenuhi 12 kriteria KRIS itu sebanyak 79,05% atau sebanyak 2.316 rumah sakit. (Estimasi) data yang tidak mengalami kehilangan tempat tidur itu, yang paling besar, ada 609 rumah sakit. Sedangkan yang mengalami kehilangan tempat tidur 1-10, itu ada 292 rumah sakit dan sisa lainnya itu hanya sedikit-sedikit."
Pernyataan yang "sedikit-sedikit" itu tampaknya tidak memperhitungkan sisa rumah sakit yang berdampak, yaitu sekitar 1400an lebih RS mengalami pengurangan kapasitas. Apabila isu penetapan kebijakan ini ditelan begitu saja, lantas bagaimana nasib masyarakat yang membutuhkan pelayanan sedangkan rumah sakit memiliki keterbatasan kapasitas?
Dalam keadaan saat ini saja---di mana seluruh kamar yang dimiliki rumah sakit masih dapat diakses peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sesuai dengan kelasnya---pasien masih kesulitan untuk mendapatkan layanan rawat inap. Utamanya dikarenakan penuhnya ruangan rawat inap. Pasien bahkan sering kali harus dirujuk dengan alasan tidak tersedianya ruang rawat inap. Apalagi jika kebijakan ini benar-benar berlaku, tentunya akan semakin memperkeruh keadaan.
Tak hanya itu, distribusi fasilitas kesehatan yang tidak merata di Indonesia juga menjadi perhatian penting. Banyak daerah yang masih kekurangan infrastruktur rumah sakit yang memadai, yang tentunya akan semakin terganggu dengan berkurangnya kapasitas. Hal ini jelas akan menyebabkan tantangan yang lebih besar bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dalam mengakses layanan kesehatan yang prima.
Celah yang Tercipta
Keterbatasan dalam kapasitas rawat inap tentunya tidak hanya merugikan pihak yang tidak sanggup mengeluarkan biaya lebih. Tetapi juga berlaku bagi seluruh golongan yang terdaftar dalam kepesertaan JKN. Alih-alih merepotkan diri mencari ketersediaan kamar dengan keterbatasan yang ada, mungkin opsi untuk menggunakan asuransi kesehatan lain (asuransi swasta) akan menjadi pilihan yang menggiurkan.
Dari berbagai sisi, banyak kemungkinan para peserta BPJS akan meninggalkan jaminan kesehatan ini, baik karena tidak sanggup membayar ataupun karena tertarik dengan tawaran yang lebih menguntungkan. Jika situasi tersebut terjadi, bukankah pihak yang akan dirugikan adalah BPJS itu sendiri? Penurunan jumlah kepesertaan yang terlibat, tentunya akan berdampak langsung pada pendapatan BPJS. Potensi perburukkan keuangan atau bahkan defisit mungkin akan terulang seperti beberapa tahun silam, sebagaimana laporan yang dipublikasi oleh Perkumpulan Prakarsa (2020) dalam "Defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Mengapa dan Bagaimana Mengatasinya?". Berdasarkan laporan tersebut, satu dari tujuh faktor yang menyebabkan adanya defisit adalah pendapatan dan beban yang tidak seimbang, yang digambarkan melalui tren pada Grafik 1.
Catatan Ke Depan
Bila ditelaah lebih dalam, kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS dapat dikatakan sebagai langkah ambisius untuk meningkatkan kesetaraan dalam akses layanan kesehatan di Indonesia. Namun, tantangan besar telah menanti saat kebijakan ini berlaku. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah guna meminimalisir dampak yang mungkin terjadi. Persiapan yang dilakukan mestinya tidak hanya mempertimbangkan rumah sakit yang memiliki kriteria KRIS, melainkan juga dengan memfokuskan lebih detail terhadap penerima manfaat layanan tersebut, yakni masyarakat.
Referensi:
1. Djamhari, Eka Afrina dkk. 2020. Defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Mengapa dan Bagaimana Mengatasinya?. Perkumpulan Prakarsa: Jakarta.
2. Indonesia. 2024. Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan. 2024. "Kelas Rawat Inap Standar Jamin Pelayanan Pasien tak Dibeda-bedakan." Retrieved (https://kemkes.go.id/eng/%20kelas-rawat-inap-standar-jamin-pelayanan-pasien-tak-dibeda-bedakan).
4. Rastika, Icha. 2024. "Kapasitas Tempat Tidur Pasien Di 292 RS Bakal Berkurang Imbas Penerapan KRIS." KOMPAS.com, June 6. Retrieved (https://nasional.kompas.com/read/2024/06/06/13555881/kapasitas-tempat-tidur-pasien-di-292-rs-bakal-berkurang-imbas-penerapan-kris)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H