alam satu dekade terakhir masa pemerintahan Joko Widodo kita disaksikan kedekatan dia dengan banyak pemuka media atau lazim disebut Influencer. Gejala ini selama kurun waktu tersebut digunakan untuk tak hentinya menggaungkan kebijakan-kebijakan Joko Widodo, teori yang sama yaitu Festivalisasi dan Entertainment.
Garis historis menerangkan Amerika Serikat lah yang mempelopori Industri Media atau khususnya Humas. Apa tujuannya? pada mulanya Amerika Serikat secara massif menggunakan Industri Humas untuk mengontrol pikiran publik atas propaganda keikutsertaan mereka dalam perang. Presiden Wilson menggandeng Creel Committee Lembaga Independen yang di create untuk memengaruhi opini publik. Pertanyaan selanjutnya bagaimana dampaknya? Amerika hanya memerlukan waktu 26 bulan untuk merubah persepsi publik mayoritas.
Kesuksesan Amerika Serikat membentuk Industri Humas sekaligus gerakan Red Scare yang menimbulkan kebencian terhadap Ideologi Komunis yang sedang berkembang di Uni Soviet dan berlawanan dengan kampanye dan Ideologi yang disetujui Amerika, yang berdampak pada panjangnya kelangsungan Ideologi dan Industri Amerika.
Bagaimana dengan case Joko Widodo di Indonesia? Pemerintahan Indonesia tidak punya media yang cukup powerfull untuk bergerak dalam bidang Humas dan Propaganda publik. TVRI sebagai media televisi yang puluhan tahun menemani pemerintah Soeharto tiap kali meluncurkan kebijakan praktis sudah kehilangan taji di era Joko Widodo (Mulyono seterusnya). Anggaran dan modal yang dikeluarkan dalam mendukung Industri ini tidak menjadi fokus Joko Widodo mengingat teori yang sama yang digunakan Amerika berbeda kondisi sosial dan zaman.
Untuk mendukung keberlangsungan TVRI dan RRI negara hanya menganggarkan dana masing-masing 1,5 T dan 1 T, mengingat tugas yang berat tersebar seluruh Indonesia sama sekali tidak memungkinkan penyelenggaraan optimal. TVRI dan RRI praktis bukan jawaban pemerintah menyebarluaskan kebijakan-kebijakannya dengan baik.
Noam Chomsky "Kalangan bisnis mencoba teknik baru untuk menghancurkan gerakan buruh, dan cara itu berhasil. Bukan lewat begundal atau kekerasan, Karena cara itu tidak bisa digunakan lagi, sebaliknya mereka menggunakan alat propaganda yang lebih cerdik dan efektif." antara lain dalam poin yang dikemukakan Chomsky, keberhasilan Industri Humas dalam penanaman propaganda di pikiran publik selalu berkaitan dengan modal dan kapital. Pemerintah yang memiliki kontrol atas kalangan bisnis dan media-medianya berusaha menjadikan mereka sebagai alat propaganda yang efektif dengan catatan dealing.
Masih menurut Chomsky "Caranya adalah mencari jalan supaya publik berbalik memusuhi para pemogok, untuk memperlihatkan bahwa mereka pengacau, perusak publik dan berlawanan dengan kepentingan bersama." Pada konteks Indonesia ini berlaku di banyak fenomena dan kejadian, misalnya IKN, upaya Mulyono memindahkan Ibu Kota Nusantara dari Jakarta ke dataran Kalimantan yang tembus 16,1% dari anggaran APBN. angka ini hanya berbeda 3,9% dari anggaran pendidikan yang di amanatkan UUD 1945.
Pada awal perancangan pun tidak sedikit kesalahan dan koreksi dari berbagai aspek, dengan begitu proyek raksasa ini menimbulkan banyak kritik dan penolakan baik oleh kalangan akademisi ataupun masyarakat sipil. Lalu bagaimana cara pemerintah tetap melanjutkan proyek ambisius ini? Pertama, menimbulkan ketakutan dan perlawanan massif di media sosial menggunakan buzzer, kedua, mencoba menghadirkan kesan positif menggunakan Influencer.
Buzzer adalah Aktor Propaganda dan Polarisasi
Yang pertama berakibat pada manipulasi opini publik yang dikuasai buzzer, pergerakan buzzer tidak terbantahkan sangat terkonsep dan terorganisir. Kerja-kerja untuk memutarbalikkan opini organik dan membuat trend tandingan yang sengaja dibuat, cara ini efektif dan baik dalam Industri Humas dan penguatan propaganda. Pemerintah seringkali mendapatkan "kemenangan dan kesuksesan" dengan cara ini. side effects dari penggunaan buzzer yang berlebihan berpengaruh pada polarisasi sosial bukan hanya menyangkut kebijakan tetapi juga kebencian ekstrem. buzzer salah satu faktor meruncingnya polarisasi sosial yang umumnya bermula ketika pemilu.
Influencer? Goverment's Second Strike
Yang kedua adalah Influencer, bagian dari gejala peralihan perspektif media massa. Perubahan pola pemerintah dalam membentuk perspektif publik dipengaruhi jangkauan massa. Mulyono menggunakan influencer sebagai alat promosi kebijakannya, sebab secara sadar pemerintah menghitung persentase penerimaan positif kebijakannya datang dari pengikut influencer tersebut. Influencer memainkan peran signifikan dibalik keberhasilan kebijakan, pemerintah yang terbatas daya komunikasi memanfaatkan mereka menjangkau khalayak luas dengan metode informal. Industri media dan humas sebagai alat propaganda dan komunikasi persuasif, menggaet influencer dan pengikutnya dalam satu gerbong.
Hal tersebut yang bisa terlihat dari approvel rating menjelang lengser, Mulyono sama sekali tidak melupakan cara memimpinnya yang populis. Masyarakat yang mudah terpengaruh masuk dalam perangkap kontrol sosial oleh influencer melalui pesan-pesan persuasif dan utopis, maka Humas mengharuskan menyembunyikan realitas dari permukaan. Itu yang diawal disebut sebagai manipulasi pikiran publik, masyarakat merasa baik atas berbagai kecacatan dan kealpaan pemerintah dalam berkebijakan. Pemerintah mengeluarkan dana besar untuk mengundang influencer datang ke IKN dengan tetap sembari melarang masyarakat adat tergusur sekedar melihat dari jauh. Maka sebetulnya media-media semacam watchdoc, greenpeace dan sejenisnya menggoyang Industri humas jadi-jadian pemerintah yang berpotensi memudarnya kepercayaan Investor.
Industri humas adalah Industri besar yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memengaruhi dan merubah opini publik.
Masyarakat lantas terpaksa menggunakan media swadaya sebagai wadah narasi tandingan. Meramaikan media sosial dengan intensitas dan jumlah orang, sebab Industri humas dan media hanya bisa dikalahkan dengan gerakan. Setidaknya kekuatan jumlah massa menentukan seberapa kuat perlawanan atas kuasa penguasa dan uang, Model perlawanan "media lawan media". Industri humas dunia kontemporer merubah konstelasi perlawanan uang lawan uang, sementara uang yang menguasai media manggandakan kekuatan pengaruh pikiran publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H