~MEMBANGUNG PARADIGMA BARU~
~Pendidikan semua untuk semua~
~saya kira kritik secara radikal atas pendidikan yang berlaku hari ini adalah awal berlakunya revolusi besar-besaran dalam pusaran pendidikan yang dibatasi kapitalisme, kiri menjadi representatif terbaik dalam menafsirkan perlawanan pada gerakan-gerakan kanan yang membunuh kaum proletar atau dalam pikiran soekarno marhaenisme. Pendidikan kritis bermuara pada pembelaan dan pemberdayaan kaum tertindas dan penjewantahan pesan kelima pancasila yang berarti keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan akses pendidikan dan seterusnya. pendidikan tidak bisa dilepaskan pada konteks bahwa semakin baik kondisi sosial dan ekonomi seseorang semakin baik pula kualitas pendidikan itu sendiri. namun dalam language of critique, pendidikan tidak bisa menjadi jalan pintas atau mukjizat tiba-tiba yang merubah konstelasi sosial masyarakat dalam waktu cepat, dalam banyak contoh misal saja perbandingan Jepang dan Indonesia, Jepang mulai membangun paradigma baru pasca kehancuran dan kekalahan di perang dunia kedua yaitu Pendidikan kritis dimana memposisikan pendidikan sebagai arus utama pembangunan, berbeda dengan Indonesia yang setidaknya sekian lama berkutat dengan Ideologi lalu gagal mengakselerasi paradigma pembangunan ekonomi nya dengan cepat sehingga jauh tertinggal dengan negara Asia Timur. Cukup kontras komparasi Indonesia dan Jepang yang dalam beberapa kisah diceritakan bahwa Jepang menjadikan keselamatan tenaga pengajar sebagai prioritas, disamping fondasi ekonomi.
jawaban atas persoalan mendasar tentang tersendatnya arus pendidikan Indonesia adalah Investasi berkelanjutan yang bukan kebijakan populer. pertanyaan-pertanyaan besar tentang bagaimana usaha negara mengubah paradigma itu dengan sungguh-sungguh belum terjawab sama sekali, negara ini masih digulung rentetan persoalan yang berkaitan satu sama lain. negara ini berkewajiban menemukan kembali apa tujuan sebenarnya dari memperjuangkan tanah, air, udara, dan nasionalisme masa perjuangan kemerdekaan, hanya satu kata yang paling tepat menggambarkan kelesuan berbangsa hari ini yaitu "Revolusi". gagasan Revolusi berbangsa dan bernegara yang dikemukakan Tan Malaka amat mungkin digeser pada ranah yang lebih spesifik, pendidikan. yang berarti Revolusi Pendidikan keseluruhan yang menyasar institusi pendidikan, aktor pendidikan dan terdampak kebijakan pendidikan. sembari meraba dalam menghadapi tantangan globalisasi termasuk pendidikan. cukup banyak perbincangan mengenai revolusi pendidikan didunia akademis, namun belum menyentuh masalah utama pendidikan. apa masalahnya? negara ini masih belum cakap menanam dalam-dalam arah pendidikan sekaligus diperparah kebijakan pendidikan yang gagal paham. relasi kekuasaan dan pendidikan disadari atau tidak berkaitan erat, relasi antara kekuasaan dan pendidikan adalah satu mata rantai yang saling mempengaruhi.
Poin penting Indonesia mengenai pendidikan adalah mengubah paradigma pendidikan yang selama ini terpusat di tempat-tempat formal yang ketat akan administratif. tanpa menutup mata, pendidikan formal adalah tanggung jawab negara dalam menjawab kebutuhan masyarakat, pendidikan semua untuk semua. Paradigma Investasi secara fokus demi menunjang kualitas pendidikan adalah pilar utama bagi sebuah bangsa. databooks belum lama merilis indeks pembangunan manusia dimana mayoritas diduduki negara eropa yang terkenal akan keberhasilannya mendidik manusia melalui pendidikan, dan jangan luput, kata kunci kualitas pendidikan itu akan pasti berpengaruh pada kualitas ekonomi, kualitas hukum, kesetaraan, penghargaan Hak Asasi Manusia dan kualitas manusia itu sendiri. pilihan fokus pembangunan ekonomi yang hari ini diambil rezim jokowi pada kenyatannya memang melompati tahapan yang seharusnya perlahan dihadapi Indonesia, lompatan-lompatan kebijakan rezim Jokowi tidak selamanya tepat, pemerintah seringkali mengambil kebijakan yang dianggap melampaui zaman atau sekurang-kurangnya memprediksi melampaui kebutuhan aktual, yang faktanya keliru.
progresifitas negara dipupuk baik dengan dasar pendidikan yang memadai. rasanya cukup arif menggunakan istilah "membangun manusia" sebagai kompas negara kedepan, saya cukup terkesan mendengar jargon GNRM (Gerakan Nasional Revolusi mental) Jokowi awal kampanye tahun 2014, walaupun bukti faktual tidak menunjukan keberhasilan upaya Jokowi patut diapresiasi. saya menilai penerapannya bisa diberikan pada kementerian pendidikan. gagasan menjadikan kementerian pendidikan dan pendidikan etika/moral belum pernah terdengar jelas, tapi apakah perbaikan moral/etik dianggap sebagai kebutuhan mendesak oleh negara? saya kira negara belum cukup serius mengurus hal-hal fundamental semacam itu. barangkali era reformasi secara langsung mendesak lembaga, badan, dewan negara untuk mengembangkan mahkamah etiknya sendiri. itu tercermin dari banyaknya lembaga negara yang diawasi dewan etik
~Minerba untuk siapa?~
Dalam menengok kebutuhan ekonomi Indonesia, kita bisa sama-sama membuka mata lebar-lebar bahwa pemanfaatan sumber daya berkelanjutan adalah paradigma lama yang masih layak diserukan. menarik investasi luar negeri di industri pertambangan, mineral dsb adalah kesalahan paradigma lama yang tak perlu diulang dan terus ditampilkan. dahulu VOC membangun kerajaan bisnisnya dan menjadi satu-satunya perusahaan yang bergerak di negara jajahan dengan kekayaan tertinggi, berkat apa? pemanfaatan betul-betul atas potensi negara Indonesia sebagai negara maritim dan bahari. komoditi seperti palawija, kopi, rempah-rempah dan sebagainya itu menjadikan VOC tidak hanya kaya tetapi menguasai pasar internasional dan pada prakteknya menyerap tenaga kerja di desa-desa penghasil.
 lalu tujuan apa yang hendak diraih negara ini melalui penggalian tambang yang merusak dan tidak berkelanjutan itu? barangkali tentu saja adalah pemuasan hasrat oligarki yang sedari awal mendukung Rezim Jokowi. pertanyaan selanjutnya seberapa besar tenaga kerja yang terserap? seberapa luas pemerataan ekonomi akibat hilirisasi tambang itu? berapa besar kas yang masuk pada negara? seberapa besar manfaat bagi mayoritas masyarakat luas dan sekitar area tambang? atau jangan-jangan dampak hilirisasi itu hanya isapan jempol belaka, yang tertera dalam survei-survei pesanan seolah menampilkan ekonomi yang meningkat tetapi hanya dikuasai 1% masyarakat.
apakah timbal balik yang didapatkan negara setelah mengeruk tambang sepadan? pernahkah negara membuka data lebar-lebar terhadap perjanjian dengan swasta? apakah negara menghitung kerusakan lingkungan sebagai cost? mana yang lebih mudah menanam singkong atau menggali nikel? negara sejatinya menolak kodrat Indonesia yang sedari dulu hidup dari wilayahnya yang subur, 30 komoditas unggulan dilupakan demi memenuhi hasrat oligarki memperkaya diri sendiri. setidaknya 217 T kerugian negara hanya dari Timah, bagaimana dengan lainnya? membuka jalan dengan mudahnya untuk tambang adalah upaya konkret negara menghancurkan bangsanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H