Penglihatan atas jalan nya peta politik sejatinya penglihatan yang tidak sebenar-benarnya, rekaan yang seringkali disampaikan tidak sampai betul-betul terjadi. analisis rumit para ahli politik, ekonomi, filsafat, agamawan, surveyor dan sebagainya buyar seketika karena tidak serupa seperti dibalik layar elite politik. kenyataan itu berlaku bahkan untuk memilih pendamping dikontestasi politik tertinggi, pemilu presiden. kesepakatan politik yang bisa berubah sekalipun palu yang diketuk tinggal 1 cm mungkin sekali diangkat kembali menimbang nama baru.
Penampakan situasi politik yang seperti ini sebetulnya yang mesti dipahami masyarakat, calon-calon yang diagungkan itu berada dalam kesepakatan politik yang mengekang atau membebaskan sama sekali. jadi, "pengkultusan" atau bahkan sampai pencanangan ideologi baru "JOKOWISME" misalnya yang berdiri tanpa dasar ideologis yang jelas tentu kesalahan dan lelucon yang mengganggu logic.
percakapan politik oleh rezim politik berhenti pada kepentingan dan kebutuhan koalisi, dukungan yang membabi buta bagi rezim dan calon rezim adalah kebodohan yang dipelihara 5 Tahun sekali dan menghina martabat rakyat yang dimanfaatkan hak suaranya. bisa dibayangkan demi memenuhi hasrat politik hak suara dan kebebasan itupun dipolitisir dan digunakan demi kemenangan. apa gunanya bagi mereka yang mendukung dan hanya ada di hierarki bawah/grassroot.Â
Dalam negara demokrasi akal sehat dan pertimbangan yang tidak disertai emosi amat diperlukan, biasanya kepercayaan sepenuhnya pada calon pemimpin menghasilkan kekecewaan terus-menerus. kegagalan demi kegagalan yang sebelumnya terjadi pun senantiasa akan dilakukan oleh penerus selanjutnya. satu rumus terbaik memaknai kerumitan ini adalah realistis dan penggunaan akal sepenuhnya, bualan-bualan mereka yang mengemis suara itu membawa bencana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H