Mohon tunggu...
Teguh Hermawan
Teguh Hermawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Doing the right things and doing things right

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Kesatria Malam

11 Juni 2011   15:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam menjelang menyisakan sorot cahaya kemerahan sang Matahari di ufuk barat. Perlahan-lahan melemahkan kekuatan angkuh sang matahari. Setelah memancarkan sinar cahaya keangkuhan pada siang hari. Sang malam membawa serta jutaan cahaya kerlap kerlip bertebaran membentuk rasi-rasi di angkasa.

Penghuni jagad raya berduyun-duyun kembali ke sarang setelah lelah seharian mencari penyambung napas kehidupan. Lalu lalang kembali dari medan pertempuran kehidupan menuju tempat peristirahatan. Melalui jalan-jalan yang mengular cukup panjang membelah daerah-daerah menjadi beberapa kawasan. Namun bagi sebagian makhluk Tuhan justru malam menjadi awal dari pertempuran yang sebenarnya dalam mempertahankan kehidupan….

“Dung…dung…dung….” Genderang perang pun di tabuh……

Senjata-senjata mematikan telah disiapkan oleh para kesatria. Jurus-jurus pamungkas juga tak mau ketinggalan. Hanya untuk satu tujuan, yaitu melumpuhkan musuh-musuh yang menantang dengan birahi yang meluap-luap. Musuh-musuh yang datang silih berganti, dari kelas menengah dengan kantong pas-pasan hingga kelas gedongan dengan uang yang menggunung. Mulai dari yang tua atau muda, berbagai macam latar belakang, hingga daerah asal. Yang para kesatria tahu hanyalah mereka adalah musuh-musuh yang harus ditaklukkan.

“Serbu…………” Teriakan-teriakan kesatria lantang mengandung asa.

Kesatria malam serempak melesat bagai lebah pekerja yang keluar sarang mencari madu setelah mendapat perintah dari sang ratu. Berlomba-lomba menuju medan pertempuran. Medan pertempuran yang sengaja di buat senyaman mungkin. Karena semakin nyaman medan itu, semakin besar musuh yang akan ditaklukkan. Mulai bintang 1 sampai bintang 5, bahkan di bawah taburan bintang gemintang.

Mengangkat senjata dengan jurus-jurus mematikan. Mata-mata tajam menyorot setiap mangsa yang lewat. Memburu mangsa-mangsa yang sedang berkeliaran. Percaya atau tidak? Satu, dua, bahkan tiga mangsa sekaligus bisa di robohkan dalam satu kali pertempuran. Karena jurus-jurus yang di gunakan adalah jurus yang mematikan. Entah belajar dari siapa, sudah tentu tidak mungkin di dapat dari pendidikan formal. Bagai ilmu turun temurun, mereka bisa menggunakan jurus-jurusnya dengan lihai dan tepat sasaran karena jam terbang pertempuran yang sangat tinggi. Hal ini menjadi satu-satunya alasan yang tepat untuk menjelaskan kehebatan para kesatria.

Pertempuran sengit yang tidak di hiasi dendam, benci dan amarah. Tetapi, di dasari atas perasaan saling membutuhkan satu sama lain. Membuat pertempuran ini menjadi lebih seru dan terkadang membuat pertempuran ini di ulang beberapa kali. Semua tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak yang bertempur. Satu ronde, dua ronde, dan seterusnya.

Napas yang saling memburu, jantung yang berdetak kencang, darah yang mendidih, hingga jeritan-jeritan kenikmatan terkena senjata-senjata mematikan terdengar di medan pertempuran. Membuat mereka bertekuk lutut tak berdaya, melayang-layang tinggi ke nirwana hingga lupa akan segalanya. Lupa bahwa mereka telah kalah oleh para kesatria untuk kesekian kalinya. Dalam hati mereka berjanji akan kembali dan bertempur lagi meskipun dengan kesatria-kesatria lain yang lebih tangguh dan berbahaya. Teriakan-teriakan kemenangan kesatria malam membahana di mana-mana. Sekali lagi, malam ini banyak mangsa yang telah ditaklukkan.

"Sungguh dunia semakin lama semakin edan, karena hanya mengejar kemenangan sesaat tanpa mempedulikan hari kemudian."

###


Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.


(No.46) Teguh Hermawan & Yulia Rahmawati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun