Mohon tunggu...
Laptop020973
Laptop020973 Mohon Tunggu... Sales - Bekerja sebagai sales and marketing

https://www.instagram.com/thiolina/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menjelang 20 Tahun Tragedi Bom Bali

27 September 2022   13:44 Diperbarui: 27 September 2022   14:01 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Monument Bali Bomb. Dokpri

Pendahuluan

Setiap orang semestinya sudah berpikir untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman dalam kehidupan untuk saling menghormati di lingkungan terkecil tempat ia tinggal, yaitu keluarga. Dari dalam keluargalah semua tercipta pancaran sikap ke masyarakat luas. Bagaimana seseorang mendapatkan pendidikan di rumah sejak awal sangatlah berpengaruh dalam membentuk karakter sesorang ketika ia akan menjadi dewasa.

Jika setiap orang tua dapat memahami betapa, masa kecil itu adalah masa yang semestinya menjadi perhatian untuk menanamkan semua dasar-dasar tentang kebaikan hidup, maka bumi yang kita diami ini menjadi lebih layak untuk dihuni. 

Namun, karena tidak semua orang yang menjadi orang tua, mampu melakukannya bagi anak-anaknya maka kesenjangan itupun semakin bisa dirasakan dari waktu ke waktu. Hal itu terjadi, karena banyaknya faktor yang mempengarhui, salah satu yang paling dominan adalah karena kurangnya dalam ber-literasi.

Terjadinya banyak permasalahan diberbagai tempat, tak bukan dikarenakan kurangnya pemahaman setiap orang dalam memaknai kehidupan sejatinya. Semakin banyak seseorang mendapatkan pengajaran tentang dasar-dasar kehidupan sejak usia muda, maka bisa dipastikan,  bahwa seseorang itu akan mampu berpikir luas dan bijaksana.

  • Dokpri
    Dokpri

Bom Bali 20 Tahun yang lalu

Terjadainya tragedi Kemanusiaan Bom Bali, pada 12 Oktober 2002, bisa disimpulkan karena ketimpangan perekonomian dan kesenjangan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Banyak orang miskin yang tak mampu menjalani hidupnya dengan layak, Namun, tak sedikit orang kaya yang menunjukkan gaya hidup yang hedonisme dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok di masyarakat, yang mengakibatkan adalah permasalahan baik kecil maupun besar dari waktu ke waktu. .

Tepat pada 12 Oktober 2022 nanti, Tragedi Kemanusiaan Bom Bali akan berlalu 20 tahun lamanya. Tragedi yang memilukan bagi masyarakat di Bali, Indonesia dan dunia Internasional itu, sulit untuk bisa dilupakan oleh sebahagian besar masyarakat, terutama bagi para korban langsung dan korban tak langsung. Sejarah kelam itu masih memberikan dampak yang berarti bagi setiap korban hingga hari ini, walaupun sudah sangat lama.

Bagi mereka yang menjadi korban langsung, kejadian mahadasyat itu masih terus meninggalkan bekas di dalam diri mereka. Cedera bagian tubuh yang terjadi pada saat itu masih terlihat membekas dibeberapa bagian tubuh mereka, alias menjadi cacat seumur hidup. Rasa perih yang mereka alami tidak hanya dirasakan pada saat kejadian Bom, tetapi hingga akhir hayat mereka, kesakitan itu terus melekat pada diri mereka hingga kontrak hidup mereka selesai di bumi.  

Selama itu pula pada korban langsung, masih harus melakukan pengobatan dan kontrol (cek up) secara berkala untuk bagian tubuh yang menjadi cacat. Kejadian yang tak berperikemanusiaan 20 tahun yang lalu itu, menjadi catatan sejarah di dalam riwayat kehidupan mereka yang tak akan bisa dihapus. Sebagai korban terorisme masa lampau, mereka menjadi saksi sejarah akan tindakan biadap dari para teroris saat itu.

Penyintas Bom Bali

Bagaimana pula dengan para korban keluarga setelah kejadian Tragedi Kemanusiaan itu berlalu selama 20 tahun?.

Akibat tindakan yang tak berprikemanusiaan yang dilakukan oleh para teroris, banyak anak  korban Bom Bali yang sampai hari ini tidak memiliki ayah ataupun ibu, alias dengan julukan sebagai anak Yatim atau anak Piatu. 

Sampai kapan mereka akan menyandang predikat itu? Sampai akhir hayat hidup mereka. Bagaimana pertumbuhan kehidupan mereka sejak ditinggal oleh ayah atau ibu yang menjadi korban keganasan bom 20 tahun yang lalu?  

Tak banyak orang yang tahu dan mengerti bagaimana mereka bertumbuh secara fisik maupun mental akibat ditinggal oleh ayah ataupun ibu mereka. Mereka bertumbuh dengan  trauma yang mendalam dan kegetiran yang masih melekat di dalam diri mereka dengan orang tua tunggal. Mereka bertumbuh secara fisik dan mental tanpa kasih sayang dari salah satu orang tua seperti anak-anak kebanyakan (baca: ayah atau ibu).

Jika ditinjau dari pengetahuan sikologi, banyak masalah yang terjadi kepada sosok sseseorang yang diasuh oleh orang tua tunggal (single parents), baca: Kesehatan mental remaja, anak dibersarkan tanpa ayah

Jika hal seperti ini terus terjadi di lingkungan ataupun  negeri kita, bagaimana kualitas generasi penerus bangsa kita nantinya? Memang jumlah anak korban Bom Bali jika dibandingkan dengan jumlah anak di Indonesia tidaklah sangat berarti. Tetapi bagaimana dengan jumlah anak anak korban terorisme di seluruh Indonesia?

Menjadi orang tua tunggal  (single parent)  setelah tragedi Bom Bali bukanlah menjadi hal yang mudah bagi setiap ibu/istri atau ayah.suami yang menjadi korban. Kala itu banyak istri/ ibu atau suami/ayah yang tidak siap ditinggal mati oleh suami atau istri mereka.

Dengan keterbatasan kemampuan, mereka mencoba secara perlahan untuk bangkit walaupun masih dalam rasa trauma yang sangat mendalam. Mereka yang tadinya hanya mengandalkan suami sebagai sosok yang menafkahi keluarga, setelah ditinggal mati mereka mencoba untuk menambah kemampuan untuk bisa mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhan di dalam rumah mereka. 

Kala itu banyak diantara mereka yang mulai belajar untuk menjadi penjahit, guru, dan pedagang. Demikian pula para suami/ayah yang tidak siap dtinggal mati oleh para istri untuk membesarkan anak-anak mereka. Tidaklah mudah bagi yang setiap penyintas yang masih mengalami trauma untuk mendidik anak-anak mereka yang juga masih menyisahkan trauma yang mirip seperti yang mereka rasakan.  

Penyintas Bom Bali setelah 20 Tahun

Dalam kurun waktu 20 tahun berlalu, bagaimana kehidupan para korban keluarga Bom Bali sekarang? 

Bertambahnya usia pada tiap-tiap mereka menjadi satu faktor yang membuat mereka tidak dapat bekerja secara optimal bila dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Tentunya hal ini pasti terjadi juga pada semua orang yang hidup. Dengan bertambahnya usia, sudah pasti semua organ tubuh manusia akan mengalami pengurangan fungsinya secara signifikan. 

Tak terkecuali kepada para istri/ ibu atau suami/ayah korban teroris Bom Bali masa lampau. Memang tidak semua mereka, tetap hidup sebagai seorang orang tua tunggal (single parent) setelah kejadian Bom Bali itu. 

Beberapa dari mereka sudah mendapatkan kembali pengganti pasangan yang mati ketika kejadian Tragedi Bom Bali, Banyak faktor yang menjadi alasan mengapa mereka memutuskan untuk hal tersebut. Salah satu faktornya adalah karena mereka  menginginkan anak-anak mereka bisa bertumbuh dan mendapatkan kasih sayang dari orang tua, layaknya seorang anak yang bertumbuh dengan asuhan kedua orang tua.

Sebagai korban langsung dan korban keluarga atas tragedi kemanusiaan yang terjadi 20 tahun yang lalu, sebagai korban terorisme masa lampau para korban telah menerima hak kompensasi sebagai warga Negara Indonesia yang menjadi korban terorisme.  

Tidaklah menjadi perkara mudah bagi segenap para korban Bom Bali untuk bisa mendapatkan hak kompensasi tersebut, mengingat banyak aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, sementara  pada saat kejadian tak seorangpun dari para korban bisa mengingat mengumpulkan sejumlah dokumen atas diri  sebagai korban Bom Bali pada saat pengobatan diri mereka.

Pemerintah Indonesia melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) akhirnya merevisi atauran-aturan yang ditetapkan di awal. LPSK bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus berupaya untuk dapat memberikan hak para korban sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditinjau ulang. 

Bisa dibayangkan, jika aturan awal itu tidak ditinjau ulang, apa yang bisa didapatkan para penyintas bom Bali yang menjadi korban terorisme di masa lampau, mungkin sebahagian besar para korban akan sulit untuk memenuhi aturan tersebut.

 Adapun persyaratan-persyaratan yang ditetapkan untuk bisa mendapatkan hak kompensasi adalah: Fotocopy KTP, Fotocopy KK, Foto 3 x 4 ( 2 lembar), surat pernyataan dari (Rumah Sakit/ klinik/ lurah/polda), surat rekomendasi BNPT, dan dokumen lainnya jika ada. Untuk itulah diperlukan kebijaksanaan dari pemerintah melalui LPSK dan BNPT.  

Untungnya setelah aturan-aturan itu direvis, beberapa dari korban Bom Bali bisa mendapatkan haknya atas kompensasi dari Negara Republik Indonesia.  Akhirnya pada tahun 2022, segenap korban terorisme masa lampau Bom Bali, sudah menerima hok kompensasi dari pemerintah Indonesia.

Sebagai korban langsung ataupun keluarga dari tragedi Bom Bali, kami bersyukur atas revisi UU tahun 2018 yang mengatur tentang korban terorisme di Indonesia menjadi lebih sempurnah. Akhirnya para korban teroris masa lampau di Indonesia bisa mendapatkan hak kompensasi dari negara. 

Selain hak kompensasi yang sudah diterima, para penyintas juga sudah menerima bantuan layanan kesehatan, dan sikologi. Layanan ini diterima para penyintas untuk membantu menyelesaikan masalah kesehatan fisik dan kesehatan jiwa mereka masing masing. Dengan demikian setelah 20 tahun berlalu, bagaimana kabar penyintas Bom Bali?

By: Laptop020973

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun