Mohon tunggu...
Teza Salih Mauludin
Teza Salih Mauludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ruang berbagi dan berdiskusi

Dari tulisan, oleh tulisan, untuk pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Terbunuhnya 6 Laskar FPI: Termasuk Pelanggaran Hukum, Pelanggaran HAM atau Pelanggaran HAM Berat?

22 Februari 2024   12:01 Diperbarui: 22 Februari 2024   20:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer, tulisan ini saya buat November 2021 lalu ketika kasus terbunuhnya 6 laskar FPI yang menyita perhatian publik.

Perlu diperhatikan antara pelanggaran hukum, pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat merupakan konsep yang memiliki perbedaan fundamental apalagi jika diaplikasikan terhadap suatu kasus. Menurut hemat saya ketika seseorang melakukan suatu pelanggaran HAM atau HAM berat sudah pasti dia melanggar Hukum, tetapi seseorang pelanggar hukum belum tentu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dan Pelangaran HAM yang berat. Secara spesifik, konsep pelanggaran hukum lebih luas cakupannya bisa dalam lingkup pidana, perdata, tata negara, bahkan dalam peraturan yang tidak tertulis. Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut: "Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian". Dalam hal ini lebih luas konsep cakupannya untuk pelanggaran hukum."

Sedangkan untuk pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM yang berat dapat dijumpai dalam dua aturan yang berbeda. Ini yang menurut saya agak membingungkun terkait dengan harmonisasi dalam hukum positif. Mengenai pelanggaran HAM dijumpai dalam pasal 1 angka 6 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dikatakan Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Sedangkan mengenai Pelanggaran HAM yang Berat dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), dalam pasal 1 angka 2 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang ini yaitu mengacu pada pasal 7 diantaranya kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 8 kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan dalam pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid

Dalam menganalisis kasus penambakan Laskar FPI tersebut, saya menganalisis secara independen berdasarkan teori dan fakta yang terjadi sebenarnya di lapangan untuk mengkategorikan sebenarnya kasus tersebut apakah termasuk pelanggaran hukum, pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM yang berat. Tentunya ini menjadi suatu yang sangat menentukan karena pengkategorian kasus tersebut berimplikasi pada tindak lanjut atau upaya hukum yang dapat dilakukan selanjutnya. Saya mengikuti kasus ini dan tentu kasus ini tidak bisa lepas dengan syarat politis karena banyak sekali kejanggalan-kejanggalan dilapangan. Dalam hal ini banyak sekali fakta-fakta yang berbeda antara hasil temuan Polisi, Komnas HAM, dan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis). Tetapi saya ingin mencoba menganalisis kasus tersebut seobjektif mungkin berdasarkan teori dan fakta yang terjadi.

Sebelum menanalisis kasus tersebut kepada ketiga konsep diatas, hal yang perlu diperhatikan adalah runtutan peristwa terbunuhnya 6 laskar FPI. Dalam hukum pidana dikenal istilah post factum dan ante factum yaitu bagaimana setelah dan sebelum perkara itu terjadi. Sebagaimana diketahui bahwa pembuntutan terhadap iring-iringan mobil HRS dan pengawalnya dalam rangka dugaan pelanggaran kekarantinaan kesehatan. Persoalan utamanya adalah apakah pembuntutan terhadap HRS terdapat surat tugas atau tidak? Jika tidak ada maka hal ini menjadi tidak sah. Karena disimpulkan tidak sah maka berikutnya semua tindakan yang dilakukan menjadi tidak sah. Saya tidak mengetahui terkait dengan hal ini versi kepolisian ataupun dari Komnas HAM. Terkait pelanggaran yang dilakukan HRS adalah pelanggaran kekarantinaan kesehatan dalam pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan seperti yang dijelaskan kepolisian dan Komnas HAM. Sebagaimana diketahui pasal 93 tersebut ancaman pidananya 1 tahun dan denda paling banyak 100 juta. Yang menjadi persoalan adalah ancaman pidananya hanya 1 tahun dan kemudian dilakukan pembuntutan. Apakah pelanggaran yang 1 tahun tentang Karantina Kesehatan harus dibuntuti semuanya atau hanya terhadap 'subjek hukum yang diberi nama 'HRS'?, sementara yang lain tidak penting pokoknya yang ini saja. Dalam hukum pidana obejknya yaitu apa yang telah dilakukan (perbuatan), bukan pada orang (subjek).

Jika sasarannya perbuatan berarti siapapun orang (subjek) yang melakukan pelanggaran tersebut semuanya harus diperlakukan yang sama, equality before the law tanpa membeda-bedakan. Persoalan selanjutnya aparat yang melakukan pembuntutan apakah dia berseragam polisi dan atau telah menunjukkan identitas sebagai polisi atau tidak? dalam berbagai kronologi saya tidak melihat demikian. Dalam kronologi terjadi gesek-gesekan antara mobil pengawal HRS dan mobil aparat. Saya membayangkan jika seorang tokoh yang dikagumi banyak orang tiba-tiba ada mobil tidak dikenal membuntuti sulit untuk mengatakan tidak akan bereaksi? Jadi dalam hal ini jika terdapat perintah dan sebagainya kesannya itu adalah masih tersembunyi dan urusannya dengan objek. Seharusnya yang membuntuti memakai dinas, da jika tidak memakai mobil dinas ingin melakukan pengintaian atau pembuntutan semestinya jaga jarak, menghormati orang tersebut, tetapi jika sampai terjadi gesek-gesekan ini yang menjadi masalah apakah sudah menunjukkan identitas aparat atau tidak. Dalam hal ini saya menegaskan apakah aparat sudah berlaku sesuai standar berdasarkan prosedur yang legal atau tidak.

Proses terjadinya penembakan terhadap 6 anggota FPI menjadi persoalan dan perlu dipastikan jumlah penambakan terhadap 6 anggota atau 4 anggota. Dugaan senjata yang dimiliki anggota FPI seharusnya berdasarkan SOP seharusnya tidak boleh dipegang, harus bersih dari sidik jari orang lain. Sidik jari yang melekat pada senjata tersebut perlu dibuktikan apakah sama dengan sidik jari anggota FPI dari yang meninggal itu. Tetapi jika sudah dipegang bagaimana bisa mengetahui sidik jari asli/original milik anggota FPI. Hal ini menjadi penting apakah aparat bertindak sesuai standar legal atau tidak. Jika misalnya tidak sesuai dengan hal-hal diatas merupakan pelanggaran prosedur. Jika terbukti pelanggaran prosedur lalu mengakibatkan matinya orang, pelangarannya menjadi dua yaitu bekerja tanpa prosedur yang dengannya mengakibatkan matinya orang.

Hal tersebut diatas menjadi argumentasi penulis untuk mengetahui kategori kasus tersebut. Komnas HAM mengatakan terbunuhnya laskar FPI merupakan pembunuhan biasa. Hal ini berdasarkan rekomendasi Komnas HAM bahwa peristiwa tewasnya 4 (empat) orang Laskar FPI merupakan kategori dari pelanggaran HAM. Disini saya sedikit membingungkan, jika kategori pelanggaran HAM sekaligus Komnas HAM yang melakukan penyelidikan itu seharusnya merupakan kejahatan HAM yang berat. Tetapi produk dari penyelidikan Komnas HAM adalah pelanggaran HAM dan rekomendasinya diadili di pengadilan umum agak membingungkan secara konstruksi hukum. Karena jika termasuk hanya pembunuhan (bisa sengaja, berencana, dll) masuknya ke pengadilan umum untuk pembunuhan biasa. Baik pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat merupakan bagian dari konten UU dan bukan bentuknya. Seharusnya jika komnas HAM mengatakan pelanggaran HAM maka merupakan pelanggaran HAM berat apakah itu genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun