Akan tetapi, solusi import barang bekas dari Jepang itu tentu juga bukan solusi yang baik. Pemerintah dan BUMN terkait harus mampu memaksimalkan potensi yang ada untuk mampu menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan transportasi masyarakat. Semua efisiensi dan efektifitas mesti terus dilakukan baik dari segi sarana fisik, manajemen hingga pelayanan kepada masyarakat.
Jadi, jiak saya mempertanyakan dengan keras dan ikut berkomentar terkait penolakan KRL import dari Jepang itu bukanlah asal komen dan berpendapat. Saya mempertanyakan kesiapan dan kemampuyan bangsa Indonesia ini mampu memproduksi kereta listrik yang selama ini rutin mengimpor KRL bekas dari Jepang sejak tahun 2000.
Saya kira, banyak pihak sependapat dengan saya yang dengan tegas menolak rencana PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) untuk impor KRL bekas dari Jepang. Penolakan impor KRL bekas jepang harus jelaskan agar tidak menjadi simpang siur dan ketidakberesan informasi di tengah masyarakat.
Saya sering kali mendengar masukan dan protes dari masyarakat baik melalui media konvensional maupun sosial media terkait ketersediaan KRL di beberapa titik pemberangkatan KRL di Jakarta.
Padahal, pada Desember 2020, Komisi VI DPR DRI sempat mengunjungi pabrik kereta INKA yang berlokasi di Banyuwangi bersama Direktur Utama INKA sebelumnya, yakni Budi Noviantoro. Bahkan pada saat itu, Dirut INKA, Budi mempresentasikan bahwa pabrik tersebut sudah siap beroperasi.
Sejak awal, saya ingat betul, Komisi VI DPR RI telah mengingatkan PT KAI akan terjadi kekurangan gerbong KRL ini dan meminta PT KAI dan PT KCI untuk berkoordinasi dnegan dengan PT INKA. Kita tunggu aksi dari INKA dan KAI/KCI agar nasib ratusan ribu pelanggan mereka yang setiap hari memanfaatkan kereta comuter tidak terabaikan. Jika hal ini dibiarkan, saya yakin akan berdampak tidak baik bagi kenyamanan dan ketertiban masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H