Isu keterwakilan perempuan di pentas politik kini kembali menjadi perbincangan hangat menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Legistlatif yang akan diadakan pada tahun 2024 mendatang. Keterwakilan kaum perempuan di ranah politik dinilai menjadi sesuatu yang sangat penting dan krusial dibahas agar dalam setiap pengambilan keputusan penting terhadap masyarakat dapat berimbang. Adanya kaum perempuan di dalam politik juga dinilai penting untuk memperkuat partisipasi perempuan dan mendorong pengambilan keputusan berperspektif gender.
Mengacu pada data yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2019 lalu, jumlah pemilih perempuan mencapai 93.994.722. Namun, tingginya angka pemilih perempuan itu masih belum diikuti oleh peningkatan kualitas caleg perempuan yanga akan dipilih. Disadari atau tidak, meski sudah mencapai kuota 30 persen sebagaimana diamanatkan oleh undang undang pemilu, secara kualitas para caleg perempuan itu masih jauh dari harapan. Adanya nama nama caleg tersebut terlihat hanya untuk memenuhi persyaratan administratif belaka.
Saat ini, jumlah keterwakilan perempuan di DPR RI adalah 118 atau lebih kurang 20 persen dari total anggota DPR yang beranggotakan 575 orang. 118 anggota DPR RI perempuan itu berasal dari berbagai daerah pemilihan dan latar belakang partai politik. Saya sendiri berasal dari Partai Keadilan Sejahtera dan Daerah pemilihan Sumatera Barat 2. Namun jika ditotal jumlah anggota parlemen perempuan di DPR dan DPD RI saat ini, total jumlah anggota parlemen perempuan adalah 167 orang.
Berbicara mengenai partisipasi politik perempuan, tentulah tidak bisa dilepaslan dari banyak hal termasuk membahas tentang kinerja poltisi perempuan di parlemen untuk memperjuangkan hak dan kekhususan bagi kaum mereka. Namun demikian, pekerjaan rumah yang utama adalah masih adanya "kekerasan dan diskriminasi politik" yang masih dialami oleh calon dan anggota legislatif perempuan yang justru menghambat mereka untuk memberikan lebih banyak warna dan perubahan pada dinamika politik Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah langkah yang terukur untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan politik tersebut.
Pekan lalu, dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Aksi Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan" yang digelar di Jakarta saya menekankan pentingnya penghentian kekerasan berbasis gender di politik. Saya berpandangan bahwa untuk menciptakan keseteraan politik bagi perempuan yang perlu dan mendesak dilakukan adalah sesegera mungkin memenuhi hak politik mereka termasuk memberikan ruang berpolitik yang lebih ramah, lapang dan akomodatif.
Oleh sebab itu, adanya deklarasi "Anti Kekerasan Politik dan Kekerasan Pada Perempuan di Ranah Politik" mestilah dijadikan sebagai agenda utama yang harus sama sama didukung. Salah satu cara untuk mewujudkan dukungan itu adalah dengan menghilangkan instrumen regulasi  yang selama ini menjadi hambatan bagi perempuan Indonesia berpolitik.
Tanpa bermaksud melemahkan peran kaum lelaki dalam mengatasi persoalan perempuan, namun seyogyanya hak hak dasar kaum perempuan harus ditindaklanjuti oleh kaum perempuan itu sendiri. Itulah kenapa penambahan jumlah kursi bagi anggota leislatif perempuan mendesak direalisasikan.
Deklarasi itu juga memberikan pesan khusus bahwa kekerasan kepada perempuan baik dalam kehidupan sehari harus dilawan dengan segala cara termasuk menggunakan jalur politik dan penyusunan kebijakan. Perlindungan terhadap perempuan di dunia politik mesti dijaga terutama dari segala bentuk tindak kekerasan yang menafikan peran dan keberadaan mereka sebagai warga negara yang turut aktif berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilkada.
Tentu saja menyelesaikan pekerjaan rumah itu menjadi tugas kita bersama. Namun demikian, jauh lebih penting saat ini adalah meningkatkan kapasitas anggota DPR/DPRD agar mampu aspirastif dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat di semua level lembaga perwakilan.
Keputusan politik untuk meratifikasi aturan terkait pemberian peran yang lebih besar kepada kaum perempuan sudah dilakukan oleh Pemerintah RI sejak tahin 1984 dengan terbitnya Undang undang Nomor 7 Tahun 1984 ini. Dengan keberadaan UU tersebut, Indonesia telah mengesahkan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.