Diskusi tentang rencana Pemerintah Pusat untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kembali menguat beberapa pekan terakhir. Rencana pemerintah yang konon akan menaikkan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Bio Solar disebut sebagai langkah pamungkas pemerintah untuk mengurangi beban subsidi energi secara keseluruhan di APBN yang berdasarkan versi pemerintah mencapai Rp. 500 Trilyun
Dalam sidang tahunan bersama DPR dan DPD RI pada 16 Agustus silam di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Presiden menyebutkan bahwa beban subsidi yang harus dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN Tahun 2022 yang tengah berjalan mencapai Rp.502 Trilyun. Angka ini terus meningkat dari tahun sebelumnya yang disebabkan fluktuasi harga minyak mentah di pasaran dunia. Patut diketahui pula bahwa harga minyak di pasaran ekspor impor dunia cenderung berfluktuasi dan tidak stabil karena berbagai faktor termasuk konflik bersenjata Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung lebih dari delapan bulan.
Kini mari kita kembali membahas wacana pemerintah yang (masih) berencana menaikkan harga BBM. Sudah banyak sekali suara penolakan disampaikan. Kami - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI sudah beberapa kali menyampaikan baik secara formal dalam forum forum rapat komisi bersama mitra maupun dalam rapat dengan Menteri Keuangan di Badan Anggaran serta dalam berbagai komentrar kepada media massa.
Penolakan itu bukan tanpa sebab dan atau juga dilakukan asal asalan. Sebagai oposisi di parlemen, tentu saja PKS memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Akan tetapi kritik yang kami, termasuk saya dan kawan kawan anggota Fraksi PKS dan Pengurus DPP PKS adalah kritik yang dimaksudkan untuk mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki pola pemberian subsidi serta pengelolaan keuangan yang lebih tepat sasaran dan akuntabel.
Data yang kami miliki menyebutkan bahwa 80 persen penerima subsidi energi adalah kelompok masyarakat yang mampu untuk membeli energi non subsidi. Arti kata, selama ini pengelolaan subsidi energi kita baik BBM, Listrik dan Gas tidak tepat sasaran. Pertanyaannya adalah kemana fungsi pengawasan pemerintah ? bukankah subsidi ini diberikan kepada golongan masyarakat yang tidak mampu. Subsidi adalah bentuk kepedulian negara kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli BBM, Gas dan Listrik sesuai harga pasar.
Rasanya ramai sekali berita di media baik, cetak dan online serta beberapa postingan di sosial media yang menyebutkan bahwa kendaraan dengan CC besar malah ikut antrian membeli BBM bersubsidi serta masyarakat golongan menengah keatas yang justru membeli gas ukuran 3 KG yang seharusnya menjadi hak rakyat miskin.
Saya juga pernah dan sering melihat pengguna motor yang kurang berkesempatan untuk menikmati konsumsi BBM bersubsidi. Padahal, pengguna motor inilah yang semestinya mendapat kesempatan seluasnya untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi baik dari jenis pertalite maupun solar.
Padahal sudah ada aturan bahwa selain kendaraan di bawah 1500 cc sudah tidak lagi dapat menikmati BBM bersubsidi kecuali kepada kelompok prioritas seperti para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dimana kendaraan logistiknya perlu dapat sokongan untuk mengembangkan bisnis mereka.
Perlu kita ingatkan agar Pemerintah Pusat bahwa dampak langsung dari isu kenaikan BBM ini memicu kenaikan harga bahan pokok yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Sudah menjadi hukum alam ketika BBM naik, maka harga bahan poikok dan onghkos produksi akan ikut naik.
Bahkan saat isu kenaikan ini masih menjadi wacana di ruang publik, kenaikan harga bahan pokok sudah terjadi dan ongkos produksi sudah ikut ikutan naik. Dengan kondisi perekonomian yang masih belum normal akibat pandemi, tentu saja kenaikan ini akan memicu peningkatan inflasi yang sangat besar. Bahkan, daya beli masyarakat akan semakin jatuh yang menyebabkan angka kemiskinan semakin melonjak.