Awal bulan November silam, dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VI DPR RI dengan Menteri BUMN Erick Thohir, Saya kembali menegaskan bahwa komitmen menyelamatkan Garuda Indonesia sebagai identitas nasional harus didukung. Namun demikian, menyelamatkan Garuda Indonesia haruslah dengan cara yang pas dan komprehensif.
Sebagai indentitas dan aset negara, Garuda Indonesia Persero tentu harus diselamatkan karena menyangkut kebanggan negara dan merupakan perusahaan flight carrier yang sudah memiliki reputasi bagus. Tentu saja, aksi aksi nyata dari pemerintah dan manajemen Garuda harus didukung dan diselaraskan dengan program kerja keuangan negara.
Apa hal mendesak yang harus segera dilakukan sebagai langkah awal menyelamatkan Garuda Indonesia?, langkah pertama adalah dengan melakukan audit keuangan perusahaan negara tersebut. Saya berpandangan bahwa dalam waktu yang sesegera mungkin harus dibentuk Tim Auditor Indipenden guna mengaudit keuangan perusahaan tersebut.
Anggota tim yang akan dibentuk itu haruslah berintegritas dan memiliki rekam jejak yang mumpuni. Tim tersebut harus mampy mengaudit secara komprehensif dan independen terkait permasalahan yang ada di tubuh Garuda Indonesia.
Saya berpandangan masalah yang saat ini terjadi di tubuh perusahaan Garuda tidak seperti yang terlihat di permukaan saja. Namun ada persoalan yang jauh lebih berat yang dihadapi oleh Garuda namun hal itu tidak terlihat di ruang publik. Kemungkinan masih ada potensi kasus kasus lainnya yang belum terungkap.
Ini memerlukan perhatian serius dari manajemen dan juga pemerintah sebagai pemegang saham utama di BUMN. Harus diakui bahwa keuangan Garuda saat ini tengah mengalami masalah yang luar biasa pelik dan ditengah ancaman kebangkrutan. Garuda bahkan disebutkan mengalami kesulitan likuiditas karena tagihan utang yang menembus angka Rp103 triliun.
Tentu saja hal itu harus segera diselesaikan. Sebab saat ini banyak pihak menagih Garuda untuk segera melunasi kewajiban mereka. Pandemi memang menjadi alasan sebagai penyebab persoalan yang tengah terjadi di Garuda saat ini, namun demikian persoalan ini bukan mutlak disebabkan pandemi. Penyebab kebangkrutan Garuda Indonesia adalah kontrak sewa pesawat yang gagal dalam bisnis Garuda Indonesia.
Saya membaca laporan yang menyebutkan bahwa nilai sewa untuk lima puluh unit pesawat jenis Boeing 737-800 yang dilakukan pada September tahun 2014 silam terbilang mahal. Angkanya mencapai Rp 42 triliun. Konon berdasarkan laporan dan berita yang ramai di media, anga ini sangat tinggi dan diduga ada yang tidak sesuai dengan nilai pasar sebenarnya.
Lalu apakah ini salah manajamen yang sekarang , tentu tidak adil jika beban ini diserahkan kepada manajemen saat ini. Sebab krisis yang terjadi saat ini juga berhulu pada keputusan yang diambil oleh manajemen terdahulu. Mereka tentu saja turut berperan menciptakan kondisi Garuda Indonesia seperti saat ini.
Saya berpandangan dengan adanya Tim Auditor kelak, semua pihak akan mendapatkan kejelasan informasi secara lengkap dan akuntabel terkait permasalahan yang membelit tubuh maskapai pelat merah kebangaan rakyat ini.
Sebagai rakyat Indonesia yang menggunakan maskapai Garuda Indonesia untuk berpergian, saya tentu sangat tidak ingin apa yang dialami oleh Merpati tidak terjadi pada Garuda Indonesia. Karena itu, langkah menyelamatkan BUMN itu harus dimulai dari awalnya dengan membentuk tim guna melakukan pemeriksaan menyeluruh serta komfrehensif guna mengetahui secara real apa yang terjadi di Garuda.
Saya kira tidaklah tepat saat ini jika pandemi dijadikan sebagai alasan krisis keuangan di Garuda. Justru sebaliknya, pandemi inilah yang telah membuka mata kita semua bahwa telah terjadi sesuatu disana. Semoga kelak, kita akan menyaksikan Garuda Indonesia, sebuah perusahaan kebanggaan kita bersama dapat terbang tinggi dan kembali berjaya dan menjadi tuan rumah industri penerbangan di tanah air. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H