[caption caption="Angela Michiels, keturunan Portugis Indonesia, penyanyi kerontjong Toegoe junior."][/caption][caption caption="Anak - anak bule Lamno, Aceh"]
Orang Indo berasal dari istilah zaman kolonial " Indo - Europeanen" atau Indische ( Indies) yang berarti percampuran antara Hindia ( Indonesia) dengan Eropa, bisa dalam segi etnisitas, kuliner, busana sampai arsitektur. Terma Indies juga banyak ditemukan pada arsitektur - arsitektur kota lama di Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bukittinggi, Medan dan lainnya. Secara global, orang yang lahir dari percampuran ras Eropa dengan Asia ( India, Cina, Jawa, Burma, Thai, Melayu, dan lain sebagainya) disebut sebagai Eurasian. Adapun di Belanda, komunitas orang Indo dikenal dengan sebutan Indische. Di Amerika Serikat lain lagi. Mereka dilabeli sebagai Amerindos atau Dutch Indonesian dalam sensus penduduk, walaupun kemudian lebih lumrah digolongkan ke dalam kelompok biracial atau "two or more race".Â
Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa istilah yang eksis untuk melabeli kelompok masyarakat yang unik ini. Di Aceh, tepatnya di kota Lamno, masyarakat yang berdarah portugis ( Andalusia) disebut dengan istilah 'orang Lamno', atau si 'mata biru'. Hal ini cukup beralasan. Betapa tidak, ciri khas fisik mereka berbeda dengan kebanyakan orang Aceh yang selama ini kita lihat ( berwajah timur tengah atau asia selatan). Orang Lamno bermata biru, atau coklat - dengan postur tinggi dan rambut coklat atau terkadang dirty blonde. Secara agama, orang Lamno merupakan penganut Islam dan berbahasa Aceh untuk keseharian. Berdasarkan perbincangan dengan beberapa dosen dan kolega yang asli Aceh, ternyata nahas pula nasib komunitas kecil yang nenek moyangnya merupakan pengungsi dari Andalusia ini. Banyak di antara mereka yang menjadi korban dalam peristiwa bencana gempa dan tsunami Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 silam. Diperkirakan komunitas ini kini menjadi semakin mikro.
Di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Larantuka dan pulau Solor, terdapat komunitas Laratuquieros atau Topas, yang merupakan keturunan Portugis, dengan ciri khas utama nama belakang atau fam yang memang berbau Portugis seperti dos Santos, Pinto, da Costa, Perreira, Lopez, Da Gomes, da Hornay, dan lainnya. Secara umum, kelompok ini menganut agama Katolik Roma, dan berpartisipasi dalam perayaan Semana Santa yang diperingati setiap paskah dengan mengarak patung Tuan Ma.Â
Di Depok, kelompok Indo dinamai dengan istilah Belanda Depok atau Bule Depok. Kelompok masyarakat ini sejatinya merupakan keturunan budak yang dimerdekakan oleh Tuan tanah Cornelies Chastelein yang merupakan pendiri Depok. Depok pada masa kolonial merupakan wilayah yang ditujukan untuk penyebaran agama Kristen. Maka, tanah yang dibeli tuan Chastelein akhirnya dinamakan De Eerste Protestanse Onderdaan Kerk ( Gereja Protestan Pertama) atau disingkat Depok. Budak - budak perkebunan ini berasal dari Jawa, Bali, Timor, Sulawesi dan Sumatra. Mereka kemudian dibaptis dan diwarisi tanah tersebut, kemudian melakukan kawin campur dengan orang Belanda dan  dikelompokkan menurut dua belas marga yang baru, untuk membangun komunitas creole Belanda Depok yang masih eksis hingga hari ini. Marga - marga yang dominan pada hari ini yakni marga Jonathans atau Loens. Orang - orang ini membentuk suatu kelompok Pribumi 'hibrida' baru dan tidak mengherankan jika penampilan fisik mereka tidak terlihat seperti orang Belanda. Jadi, seperti apa yang saya kemukakan dalam intro tulisan ini, ternyata tidak semua orang Indo itu berhidung mancung dan berkulit putih; karena ada juga komunitas Indo yang sudah samar ciri khas Eropanya. Faktor ini bisa dijelaskan karena proses kawin campur beberapa generasi yang telah terjadi.
Jakarta atau Batavia pada masa silam juga diwarnai kisah pembebasan komunitas budak. Budak - budak tawanan dari Malaka ( Malaka sempat dikuasai Belanda) yang kebanyakan merupakan orang - orang creole portugis yang berdarah campuran Melayu, China, Timor dan India, dimerdekakan oleh Belanda setelah terlebih dulu beralih dari katolik roma ke protestan. Karena telah merdeka, maka mereka dijuluki sebagai orang - orang Mardijker atau orang yang bebas. Pada hari ini, orang - orang Mardijkers dikenal dengan istilah orang Tugu yang hidup di kampung Tugu, Jakarta Barat. Masyarakat ini terkenal dengan tradisi portugis seperti musik kerontjong toegoe. Ada juga grup kerontjong toegoe junior yang melestarikan tradisi khas ini.
Di Indonesia Timur, khususnya di Manado dan Maluku, masyarakat mestizo atau mesties telah membentuk suatu bagian besar dari wilayah tersebut. Hingga hari ini, sangat lumrah kita jumpai Nyong Ambon atau Jong Manado yang bermarga Belanda, dengan perawakan khas mesties, serta dapat berbahasa Belanda. Di Manado, orang - orang keturunan pedagang Eropa ( Belanda, Spanyol, Perancis, Portugis) disebut sebagai orang Borgo. Maka di Manado kita mengenal tradisi Figura menyambut Natal dan Tahun Baru atau Konci Taong. Banyak pula entri serapan dalam bahasa Melayu Manado seperti ' voor' ( voor; belanda) , fastiu ( fastiu; portugis) , kado ( cadeau; perancis), maar ( maar; belanda) Â dan lain sebagainya.Â
Seperti apakah eksistensi orang Indo pada zaman tempo doeloe ( Hindia - Belanda)? Nantikan di bagian ke II.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H