Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda Handriawan
Teuku Parvinanda Handriawan Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba Allah, bagian dari keluarga, rakyat Indonesia, mantan jurnalis, praktisi komunikasi

Tulisan adalah ruang kemerdekaan berpendapat

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Cuma Jokowi yang Bisa, Yura!

22 Agustus 2024   07:35 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:16 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber CNBC Indonesia

Ketika Niccol Machiavelli menulis Il Principe pada abad ke-16, ia memperkenalkan konsep-konsep politik yang kontroversial dan penuh dengan pragmatisme. Kekuasaan menurut Machiavelli dapat diperoleh dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Penguasa berhak melanggar moral, karena politik terpisah dengan nilai-nilai moral. Lebih dari lima abad kemudian, prinsip-prinsip ini masih relevan dan terlihat dalam berbagai kepemimpinan modern, termasuk di Indonesia.

Dalam kepemimpinan nasional terkini, Presiden Joko Widodo (Jokowi),  sering kali diidentifikasi sebagai pemimpin yang unik. Tidak memiliki latar belakang militer atau politik tradisional, Jokowi berhasil meniti karier dari Wali kota Solo hingga kursi kepresidenan.

Dalam perjalanan politiknya, tampaklah gambaran yang diajarkan oleh Machiavelli, bahwa seorang penguasa harus mampu mengombinasikan kecerdasan, kelicikan, dan kekuatan untuk menjaga kekuasaan.

Prinsip Machiavelli dalam Politik
Machiavellianisme adalah pendekatan politik yang berfokus pada pragmatisme, realisme, dan kekuasaan. Dalam pandangan Machiavelli, seorang penguasa harus siap mengorbankan moralitas dan nilai-nilai tradisional demi mencapai tujuan politiknya. Ada beberapa prinsip utama yang sering dikaitkan dengan Machiavellianisme, antara lain:
1. Ends Justify the Means (Tujuan Menghalalkan Segala Cara): Penguasa harus fokus pada hasil akhir, meskipun caranya kontroversial.
2. The Lion and the Fox (Singa dan Rubah): Penguasa harus memiliki kekuatan seperti singa dan kecerdikan seperti rubah.
3. Virt and Fortuna: Penguasa harus memiliki kebijakan (virt) dan mampu memanfaatkan keberuntungan (fortuna).

Machiavelli Menjelma di Indonesia
Beberapa aspek kepemimpinan Jokowi dapat dilihat melalui kacamata Machiavellianisme:

1. Pragmatisme di Atas Ideologi
Jokowi menunjukkan pragmatisme tinggi dalam berpolitik, serupa dengan prinsip Machiavelli. Dengan latar belakang sebagai pengusaha dan pemimpin daerah, Jokowi tidak terikat pada ideologi yang kaku. Hal ini terlihat dalam kemampuannya untuk membangun koalisi politik yang luas, bahkan dengan mereka yang sebelumnya menjadi rival, seperti Prabowo Subianto. Ini menunjukkan bahwa Jokowi lebih mementingkan stabilitas dan pencapaian hasil daripada mengikuti prinsip ideologis tertentu.

2. Kecerdikan dalam Manuver Politik
Seperti rubah dalam analogi Machiavelli, Jokowi telah menunjukkan kecerdikan politik. Contoh signifikan adalah bagaimana ia menangani kasus penistaan agama yang menimpa Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Jokowi secara hati-hati menjaga jarak, meski Ahok adalah mantan wakilnya. Strategi ini memastikan bahwa ia tidak kehilangan dukungan dari kelompok mayoritas yang sangat sensitif terhadap isu agama.

3. Penggunaan Kekuatan Simbolis
Jokowi juga menampilkan kekuatan simbolis dalam kebijakan-kebijakannya. Ia tidak menghindar dari penggunaan kekuatan jika diperlukan. Misalnya, kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, yang meski kontroversial, tetap ia jalankan demi mengukir warisan kepemimpinan yang monumental dan warisan politik yang abadi, sebuah langkah yang diilhami oleh prinsip virt Machiavelli.

Contoh Machiavellianisme di Indonesia dan Dunia
1. Soekarno dan Soeharto
Soekarno menunjukkan prinsip Machiavellian ketika ia mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, membubarkan Konstituante, dan kembali ke UUD 1945 demi menjaga kekuasaannya. Langkah ini menegaskan bahwa dalam politik, mempertahankan kekuasaan sering kali membutuhkan keputusan yang berani dan kontroversial. Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 adalah langkah Machiavellian yang bertujuan mempertahankan kekuasaannya dengan mengesampingkan demokrasi parlementer.

Baca juga: Istana dan Gubuk

Soeharto menggunakan gaya otoriter, sentralistik dan dominan dalam pemerintahan selama lebih dari tiga dekade berkuasa. Kebijakan dan keputusan politik telah memberi pengaruh signifikan terhadap bangsa dan negara selama masa kekuasaannya. Hingga berdampak pada berakhirnya kekuasaan Soeharto secara dramatis.

2. Vladimir Putin
 
Vladimir Putin adalah contoh kontemporer Machiavellianisme. Putin menggunakan kombinasi kekuatan militer, kontrol media, dan kecerdikan politik untuk menjaga kekuasaannya. Ia mampu membungkam oposisi dan menjaga popularitasnya meski dikelilingi oleh tantangan dari dalam dan luar negeri serta terlibat dalam berbagai kontroversi internasional.

3. Lee Kuan Yew 
Lee Kuan Yew, tokoh pendiri Singapura,juga menunjukkan pendekatan Machiavellian untuk membangun Singapura dari negara berkembang menjadi negara maju.  Ia mengambil langkah-langkah yang kadang dianggap otoriter, termasuk pembatasan kebebasan pers dan oposisi politik, dan menjadikannya sebagai tindakan-tindakan yang diperlukan, untuk memastikan stabilitas dan kemajuan Singapura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun